Identitas kota sangat penting bagi ekonomi secara umum, dan pariwisata secara khusus. Julia Winfield Pfefferkorn (2005) dalam studinya The Branding of Cities, menyebutkan bahwa keberhasilan kota-kota dunia seperti New York, Paris, Rotterdam, dan San Francisco dalam menjual kotanya disebabkan karena mereka memiliki keunikan dalam sebuah fungsi kehidupan kota, seperti sejarah, kualitas ruang (termasuk infrastruktur), gaya hidup, dan budaya, dengan landasan program kerja sama yang mantap antar masyarakat dan pemerintah kotanya.
Dalam konteks ini, tak ada ruginya para stake holder dan pemangku kebijakan di Garut mencontoh langkah kota-kota dunia tersebut untuk lebih meningkatkan branding Garut dengan cara mononjolkan satu aspek baru, tanpa mendiskreditkan aspek yang telah lama mapan. Di sini aspek baru tersebut tentu saja "keasgaran" Garut sebagai sebuah tradisi yang bertransformasi menjadi salah satu simbol ekonomi warga Garut.Â
Singkatnya, Garut yang selama ini dikenal dengan julukan "Kota Dodol, Kota Intan, Kota Gurilaps, dan Kota Domba", secara branding diperkaya lagi dengan tambahan "Kota Barbershop" atau "Kota Asgar" misalnya. Caranya, bisa dengan penyebaran message untuk membentuk awareness dengan menggunakan pendekatan kekinian, yaitu mengoptimalkan copywriting untuk membuat tagline nyeleneh seperti "Asgar Bukan Milik Thor Tapi Garut", "Ditinggal Thor, Sebagian Warga Asgar Pindah ke Garut ", "Asgar  di Garut Makin Ramai Setelah Thor Tak Ada", "Tiada Asgar Rambutmu Takkan Rapi", dan sebagainya.
Di era media sosial, semua ini sangat mungkin dilakukan apalagi oleh anak-anak muda Garut secara umum dan Asgar secara khusus yang peduli dengan kemajuan daerahnya. Bayangkan, betapa akan berdayanya wisata di daerah tempat lahirnya tokoh intelektual perempuan pertama, RA Lasminingrat, ini apabila terjadi kolaborasi antara generasi muda dan pemerintah. Anak-anak muda menyebarkan message di media sosial secara massif untuk branding, beriringan dengan itu pemerintah juga giat membangun fasilitas untuk membangun desa wisata, museum, bahkan Institut Pangkas Rambut Asgar. Bukan hal yang tidak mungkin, bukan?Â
Ah, sudah ya berbusa-busanya. Saya sampai lupa kalau rambut saya yang ikal agak-agak mirip Bruno Mars ini perlu dirapihin oleh layanan plus-plus Asgar: Pijat kepala dengan gerakan terakhir "mematahkan" leher yang agak horor tapi enak banget itu. Hehehe.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H