Buat saya Garut bukan sekadar dodol. Bukan pula terkait ajang seni domba aduan berhadiah ratusan juta, apalagi kota illuminati seperti dikatakan Ahmad Samantho yang bikin heboh itu. Buat saya, Garut adalah "Asgar"
Terdengar familiar?
Ya, Asgar, akronim dari "Asli Garut" adalah perkara merapikan rambut. Sebuah tempat yang dilengkapi beberapa tempat duduk, dengan kaca berukuran besar, serakan alat cukur, dan senyum ramah si akang yang selalu siap diajak ngobrol apa saja. Sesederhana itu, tapi sangat berkesan.
Meski saya belum pernah mengeksplorasi kota yang pada zaman dulu dikenal dengan "Swiss van Java" ini, tetapi karena Asgar, membuat Garut serasa dekat. Di Sukabumi, tempat saya lahir, tumbuh, dan menetap hingga kini, tidak sulit menemukan pangkas rambut berlabel Asgar.
Coba search di mesin pencarian dengan kata kunci "Pangkas Rambut Asgar Sukabumi," tak kurang dari 12 pangkas rambut yang menggunakan akronim tersebut ditemukan. Jumlahnya bisa lebih banyak lagi, mengingat, tidak semua hal ada di Google, seperti pangkas rambut langganan saya yang berlokasi di Jalan Pasar Ikan Cibaraja dan jalan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.
Jarak Sukabumi-Garut sendiri, terentang sekitar 160 km. Antara Garut dan Sukabumi, terhalang Sumedang, Bandung, dan Cianjur dengan jalan yang tak mulus dan berekelok-kelok seperti cinta kita, ahelah. Dan ini yang menarik, yaitu terkait bagaimana pangkas rambut Asgar menyebar ke berbagai daerah dan bagaimana pula urang Garut bisa mewarisi keahlian memotong rambut.
Secara historis, dengan cukup gamblang Tirto.id pernah mengulas bahwa persebaran pemangkas rambut Asgar tidak dapat dilepaskan dari Peristiwa DI/TII. Masa goromolan, begitu banyak orang Sunda menyebut periode tersebut mendorong banyak orang Garut merantau untuk mencari penghidupan baru dan tempat yang lebih aman. Bandung, menurut Martin van Bruinessen dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik (2013), seperti dikutip Tirto menjadi tujuan utama warga Garut pada awalnya.
"Kota ini menerima arus masuk pendatang dalam jumlah besar pada awal tahun 1950-an, akibat pemberontakan Darul Islam (DI) [...] Tindakan balasan kedua belah pihak terhadap orang-orang desa yang dicurigai, membuat desa menjadi tidak aman [...] Jumlah pengungsi yang datang ke Bandung pada tahun-tahun itu dapat dipastikan mencapai sekitar seratus ribu jiwa."
Keahlian ini lantas berkembang di tempat perantauan dengan didasari semangat primordial yang bersandar pada kekerabatan, rasa kedaerahan, kesukuan, dan paham keagamaan. Pada kasus regenerasi tukang cukur Asgar, pola dominan yang terlihat adalah pewarisan keahlian di antara keluarga dan sahabat.
Kisah dari Ali Rahman misalnya. Salah satu sesepuh Persaudaraan Pangkas Rambut Garut (PPRG) ini mengaku bahwa profesinya sebagai pemangkas rambut tidak bisa terlepas dari latar belakang Idi, kakek buyutnya yang merupakan pemangkas rambut bagi orang-orang Belanda. Secara turun temurun, keahlian tersebut diwariskan dalam keluarga, ayah, paman, sampai pada dirinya.