Mudik, meski harus menempuh kemacetan, perjalanan jauh sambil membawa banyak barang bawaan tetap jadi momen yang paling ditunggu. Pasalnya, tradisi masyarakat Indonesia menjelang Lebaran ini memberikan sensasi berbeda di bandingkan bulan-bulan lainnya.
Ada nostalgia di sana. Semacam penawar rindu setelah sekian lama meninggalkan tanah rantauan. Lalu ada juga kebanggaan dan berbagi, terutama saat mengisahkan pengalaman dan berbagi “tetesan rezeki” kota kepada handai taulan dan kawan-kawan di kampung halaman.
Dan selanjutnya, inilah mungkin esensi paling penting mudik dalam konteks lebaran. Yaitu menyambung tali silaturahmi dan saling memaafkan kesalahan. Karena sebagai manusia, faktanya kita memang mempunyai keterbatasan ruang dan waktu untuk melakukan itu.
Walaupun zaman sudah canggih, antara lain ditandai kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, tapi kita tak selalu dapat mengandalkan sms, telpon, chatting, dan video call untuk menyambung silaturahmi dan meminta maaf. Sebab ada hal yang tak dapat tergantikan hanya dengan teks dan suara.
Saat raut wajah saling bertemu, saat lengan dan jemari beradu, untuk saling menggenggam, bersalaman atau sekadar bersentuhan, desir emosi akan muncul. Menjalar ke seluruh pembuluh darah, melahirkan haru serta pengalaman syahdu yang tentu saja tak bisa dilakukan gadget dan internet.
Itulah mengapa mudik menempati posisi “inti” di dalam hati masyarakat Indonesia. Lupakan sejenak itu tesis para pakar sosial-ekonomi-politik bahwa fenomena mudik merupakan impact dari pembangunan ekonomi yang timpang antara desa dan kota. Bahwa mudik adalah fenomena khas Indonesia yang erat berkaitan dengan kelangkaan kesempatan kerja dan kian sempitnya lahan pertanian di desa-desa sehingga melahirkan urbanisasi.
Mudik lebih dari itu! Seperti yang sudah dijelaskan di awal, sebagai ajang nostalgia, berbagi rezeki, menyambung kembali jalinan silaturahmi, saling memaafkan kesalahan, dan penyadaran diri mengenai eksistensi kita: Manusia. Entitas yang tak bisa hidup sendiri, yang membutuhkan “yang lain” untuk “mengada”. Yang sekadar membutuhkan sandaran bahu, apabila sudah merasa tak mampu menanggung segala beban hidup.
Selamat mudik Kompasinaners.
Sumber gambar: Edo Rusyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H