Tumpukan kendaraan liar bertebaran di tengah gemerlap jalan kota, menyemut seperti parasit yang memakan ruang publik. Parkir liar adalah aspek budaya yang melekat dengan ketidakdisiplinan di kota-kota, bukan sekadar masalah teknis yang diselesaikan dengan penegakan hukum.Â
Kendaraan yang terparkir sembarangan merusak tatanan jalan di setiap sudut kota. Ini bukan sekadar aturan yang diabaikan, tetapi sebuah 'tradisi' buruk yang tumbuh subur di tengah keramaian kota. Akankah kita membiarkan ketidakpedulian ini merusak masa depan yang lebih tertib dan teratur dalam kota yang selalu bertransformasi?
Baru-baru ini, media massa ramai dengan aksi petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta. Mereka menggembosi ban mobil yang terparkir di area terlarang, kawasan Monas. Peristiwa itu terjadi pada Minggu, 29 Desember 2024, hampir 100 kendaraan mendapat sanksi tersebut.
Hal itu dilakukan untuk memberi efek jera pada pemilik kendaraan. Di sisi lain pemilik kendaraan ditarif Rp30.000 oleh jukir liar, tetapi ketika petugas datang jukir tersebut malah melarikan diri (Kompas, 30/12/24).
Ketika suatu tempat ikonik, seperti Monas, yang seharusnya menjadi oasis bagi warga kota maupun wisatawan, malah dipenuhi parkir liar. Begitu juga dengan rumah makan dan kawasan komersial yang seringkali kendaraan terparkir sembarangan di depan toko atau restoran. Tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang jelas, area ini menjadi lahan basah bagi parkir liar.
Tata Ruang yang Kurang
Fenomena parkir liar di berbagai kota, tidak bisa menyangkal, berawal dari cerminan tata ruang yang buruk. Alih-alih menyediakan kantong parkir yang memadai, pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan pusat komersial seringkali meninggalkan kebutuhan dasar ini. Akibatnya, bahu jalan, trotoar, bahkan jalur hijau disulap menjadi lahan parkir dadakan.Â
Pengawasan dari pihak berwenang pun juga minim dilakukan, yang hal ini memperparah kondisi tersebut, sungguh ironi. Seolah ada pembiaran yang membuat parkir liar semakin merajalela, merusak ruang publik yang menjadi milik bersama.
Dampak yang ditimbulkan sangat meresahkan. Orang-orang yang terjebak dalam kesemrawutan sehari-hari menghadapi kemacetan lalu lintas, yang menghabiskan waktu dan tenaga hanya untuk di jalan.Â
Trotoar yang menjadi hak pejalan kaki, justru dimanfaatkan oleh kendaraan yang parkir sembarangan. Pejalan kaki harus rela berjalan di badan jalan yang mengancam keselamatan mereka. Selain itu, deretan kendaraan yang berjejal tidak teratur merusak keindahan kota.
Parkir liar akan menjadi bom waktu yang siap meledak, jika tidak diatasi. Kemacetan yang semakin parah, polusi yang meningkat, dan perebutan lahan parkir adalah sebagian kecil dampak yang harus ditanggung. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi mencari solusi.Â