Aksi remaja sebagai tukang buli? Yaa kata buli tidak asing lagi bagi telinga-telinga pelajar atau remaja. Setiap remaja pasti pernah mengetahui atau mengalami peristiwa tersebut. Remaja yang lemah adalah sasaran empuk bagi teman-temannya untuk dibuli. Aksi mengjek, memukul, menarik rambut, mendorong orang lain, dan lain sebagainya.
Namun sebelumnya apa sih yang dimaksud dengan buli/bullying? Bagaimana ini bisa terjadi? Itulah mungkin yang akan dikupas terlebih dahulu sebelum menginjak pada fenomena yang lebih jauh. Kata buli/bullying menurut Wikipedia memiliki arti suatu perbuatan mengasari yang lemah dengan tujuan untuk menunjukkan kekuatan masing-masing. Menurut buku arti kata bahasa indonesia adalah ancaman dari yang lebih kuat ke yang lebih lemah. Sehingga dapat disimpulkan sebagai perilaku yang mengancam individu lemah agar mau menuruti keinginan seseorang yang lebih kuat dengan cara kasar.
Perilaku bullying/buli ada dua macam. Ada buli fisikal dan juga ada buli mental. Perilaku buli fisikal adalah perilaku buli yang menyerang atau mengancam melibatkan kontak fisik terhadap individu yang lemah. Seperti mendorong, menarik rambut, menendang, memukul, dan lain sebagainya. Yang jelas bisa membuat individu mengalami cidera.
Sedangkan yang kedua adalah perilaku buli mental yaitu perilaku yang menyerang atau mengancam dengan cara verbal atau lisan. Seperti mengejek-ejek teman dengan menggunakan namanya. Atau mungkin nama orang tuanya karena mungkin dinilai unik atau menggelikan. Inilah perilaku yang kurang etis jika dilakukan oleh seorang remaja. Karena perilaku seperti ini akan memunculkan sikap meremehkan atau kurangnya rasa menghormati kepada yang lebih tua. Perlunya peran guru untuk selalu membimbing dan mengarahkan muridnya untuk menuju ke arah yang lebih baik.
Kenapa remaja? Melanjutkan uraian paragraf pertama tadi sebab remaja adalah adalah merupakan fase transisi dari anak-anak menuju dewasa. Dan dalam prosesnya terjadi berbagai fenomena-fenomena penting yang amat sayang sekali untuk dilewatkan oleh seorang remaja itu sendiri. Terdapat fenomena penting yaitu perkembangan metabolisme tubuh yang berlangsung secara gencar-gencarnya. Mulai berkembangnya hormon reproduksi pada remaja telah memicu berbagai perubahan pada struktur primer dan sekunder remaja. Perubahan ini juga mempengaruhi pola kognisi remaja dalam menyikapi perkembangan dirinya atau yang dalam ilmu biologi disebut dengan masa pubertas.
Remaja yang besikap positif terhadap apa yang dialaminya ketika remaja akan cinderung lebih bertanggung jawab dalam mengeksplorasi dirinya dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang remaja. Seperti belajar dengan rajin disekolahnya, mengikuti kelas seni di sekolahnya, mengikuti kelas olah raga, dan lain sebagainya. Semuanya adalah cara yang positif digunakan untuk menggali potensi yang ada pada diri seorang remaja. Namun jika sebaliknya yaitu remaja yang menunjukkan dirinya pada penyikapan yang negatif maka remaja akan terlalu puas dengan dirinya sehingga sikap ini yang menjadikan remaja menjadi kurang bertanggung jawab terhadap dirinya. Yang awalnya berniat untuk mengeksplorasi dirinya namun arah yang ditujunya adalah arah yang negatif. Yaitu seperti terjebak pada perilaku pacaran, pergaulan bebas, obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.
Perilaku tersebut telah merugikan dirinya dan juga orang lain. Terutama orang tuanya. Karena orang tuanya adalah partnernya dalam melewati fase ini. Terlalu cepat puas terhadap apa yang terjadi pada tubuhnya, ini biasa yang dirasakan perempuan ketika bercermin. Dan mulai tertarik dengan lawan jenis yang akhirnya memicu keinginan untuk berpacaran. Namun pada si pria akan menunjukkan dominasinya ketika berada dilingkungan sekolah. Seperti ketika ia mendapati tubuhnya yang mlai kekar dan otot berisi, maka akan memicu untuk berlaku dominasi pada suatu kelompok yang akhirnya harus menindas yang lemah atau melakukan buli.
Biasanya orang yang terlalu cepat puas terhadap kondisi tubuhnya maka ia cinderung kurang maksimal pada perkembangan kognisinya. Namun jika ada yang bisa mengendalikan keduannya, maka ia tergolong orang hebat.
Namun perilaku buli tidak hanya dipengaruhi oleh aspek-aspek diatas saja, namun juga bisa dipengaruhi oleh parenting sistem atau yangumum disebutkan dengan pola asuh oleh orang tua. Karena pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas sikap dan tingkah laku yang dilakukan oleh anaknya. Jika si anak berperilaku yang baik dan positif maka dapat dikatakan kalau orang tuanya telah berhasil dalam mengasuh anak. Namun jika sebaliknya maka orang tua dikatakan belum cukup berhasil dalam mengasuh anaknya.
Pola asuh yang demokratis adalah dirasa pola yang paling tepat dalam mengembangkan potensi si anak untuk lebih terbuka dan berani dibandingkan dengan pola asuh otoriter yang lebih menjadikan anak tertekan dan takut adalam melakukan berbagai aktifitasnya. Oleh karena itu pola asuh yang diberikan oleh orang tua akan menentukan seperti apa si anak itu nanti setelah dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H