Setiap keputusan selalu menuai pro dan kontra tak terkecuali dengan Kurikulum K-13 yang sudah ditetapkan untuk dilaksanakan namun harus mengalami penundaan karena dikecam dari segala arah. Rata-rata komentar berasal dari kesan personal yang mungkin masih bisa diperdebatkan. Akhirnya pemerintah berusaha untuk meredakan suasana dengan menunda pelaksanaan pada sekolah yang belum siap agar suasana sejuk tetap terjaga. Dalam menyikapi kurikulum apapun kebanyakan dari kita tidak berusaha untuk mensukseskannya namun lebih mudah untuk melihat sisi lemahnya. Sebagian dari kita yang aktif di bidang pendidikan pun masih lebih suka untuk menampakkan simbol simbol daripada menjalankan sesuai dengan nafas setiap kurikulum yang di lounching untuk dilaksanakan di sekolah.
Contoh, pada saat pelaksanaan kurikulum CBSA diharapkan siswa yang aktif dalam proses pembelajaran. Itulah sebabnya kemudian ketika siswa mengikuti proses pembelajaran di kelompok-kelompokkan kemudian diminta untuk menempelkan hasil karya pada papan pajangan. Apa yang terjadi? ketika proses pembelajaran tidak dilakukan berdasarkan kelompok siswa maka orang menyebut belum CBSA, begitu juga ketika di dalam kelas tidak ada papan pajangan maka belum CBSA. Padahal yang dimaksud dengan aktif adalah siswa berani bertanya, berani menyampaikan pendapat dan berani pula menerima pendapat orang lain. Siswa akan berani menyampaikan pendapat bila suasana belajar menyenangkan, tidak merasa tertekan dan sebagainya. Mestinya kondisi ini saja yang disiapkan maka tanpa harus membentuk tempat duduk berkelompok, tanpa papan pajangan juga sudah CBSA. Ketika kesulitan melaksanakan proses pembelajaran yang muncul kemudian membuat singkatan dengan Cah Bodo Soyo Akeh (anak bodoh makin banyak)
Contoh lain, ketika kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diberlakukan metode pembelajarannya menggunakan SCL (Student Centered Learning). Pada tataran ini siswa yang harus aktif belajar, jadi untuk menunjukkan bahwa siswanya aktif maka siswa diminta maju ke papan tulis sekedar untuk menuliskan sesuatu. Jadi keaktifan dimaknai sebagai pergerakan siswa ke depan kelas untuk melakukan sesuatu. Mereka kawatir bahwa bila tidak ada gerakan siswa ke depan kelas tidak disebut sebagai KBK. Ada juga para pengajar yang meninggalkan tugas buat siswa dan beliau keluar kelas, alasannya siswa yang harus aktif, kawatir kalau tidak aktif bukan KBM KBK. Akhirnya muncul akronim KBM menjadi Kurikulum Berbasis Kebingungan (baik guru maupun muridnya).
Kedua contoh di atas bisa menjadi referensi buat kita bahwa ketika sebuah kurikulum di lounching yang harus dipersiapkan dengan baik adalah gurunya kemudian sarana dan prasarananya. Para guru hendaknya dilatih lebih dulu dengan baik. Pada saat kurikulum 2013 akan diterapkan ada informasi Kemdikbud sudah melatih ratusan ribu guru agar mereka siap dalam menjalankan K-13 tersebut. Kenyataannya keberatan pertama justru muncul dari para guru. Hal ini menandakan bahwa pelatihan yang dilakukan tidak efektif. Saya punya pengalaman untuk menemani para guru SD mengubah cara mengajar IPA menggunakan kegiatan, proses pelatihan dilakukan selama 40 hari per tahap pelatihan. Para guru didampingi baik memahami konsep IPA, menggunakan alat dalam KBM, merumuskan konsep IPA, dan melakukan evaluasi. Untuk mengubah cara mengajar menggunakan alat-alat. Pelatihan diadakan, pendampingan juga dilaksanakan. Ada buku teks, ada bantuan alat-alat IPA dan para guru tinggal melaksanakan. Kemudian, para stakeholder sekolah (Pengawas, Kepala Sekolah) juga dilatih agar mereka juga memiliki kesamaan pandangan dengan perubahan metode yang akan dilakukan. Hasilnya? sebagian guru masih kembali ke cara lama meski mereka mengakui metode ini bagus untuk meningkatkan pemahaman siswa, karena berbagai alasan (Pejabat terkait tidak mendukung, repot banyak tugas tambahan, target kurikulum tidak tercapai dll). Kesimpulannya adalah pelatihan yang panjang (40 hari) belum sepenuhnya mampu mengubah cara mengajar para guru apalagi pelatihan yang hanya satu dua hari bahkan seminggu dipastikan tidak akan efektif. Jadi ketika para guru mengeluh ketika melaksanakan K-13 menjadi sangat dipahami. Disisi lain sebuah kebijakan baru yang tidak menguntungkan bagi yang melaksanakan pasti akan mewujudkan penolakan. Fenomena ini yang terjadi sekarang. Ada juga yang berpendapat bahwa ganti menteri ganti kurikulum mungkin juga tidak sepenuhnya benar. Sebuah kurikulum harus dilakukan evaluasi keberhasilannya setiap 5 tahun, setelah itu harus ada evaluasi kalau memang diperlukan ganti ya pasti diganti. Kebetulan masa jabatan menteri juga 5 tahun jadi kesannya menjadi seperti itu.
Kesimpulannya, penundaan pelaksanaan K-13 sebenarnya tidak perlu dilakukan karena kalau hanya kurang sempurna bisa dilakukan perbaikan sambil dilaksanakan. Setiap produk pasti mempunyai kelemahan namun yakinlah para perancang K-13 sudah memperhitungkan dengan cermat dan kelemahan akan diketahui bila sudah diimplementasi, sehingga wajar saja bila diadakan perbaikan ditengah perjalanannya. Toh ada juga para guru yang terlanjur sudah menikmati keasyikan mengajar berbasis K-13 kepada mereka bisa dimohon untuk bisa menularkan keasyikannya mengajar dengan K-13 kepada teman guru yang lain agar virus kesukaan mengajari siswa cepat menular untuk mengalahkan virus kesukaan mengabari siswa yang sepertinya sudah mendarah daging dalam diri kita. Usul buat pemerintah bila ingin mengimplementasi kurikulum baru atau apapun hendaknya para stakeholder harus dilatihkan lebih dahulu, sarana prasarana dilengkapi kemudian para guru tinggal melaksanakan. Kalau semua sudah dilakukan maka pemerintah berhak meminta tanggung jawab dari sekolah tapi kalau belum dipenuhi tentu agak susah bagi pemerintah untuk menuntut tanggung jawab sekolah dalam pelaksanaannya sehingga penundaan menjadi jalan keluarnya. Sekedar share pengalaman semoga bermanfaat. Selamat akhir pekan buat semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H