Alkisah ada seorang Ayah sedang pusing tidak kepalang. Bagaimana tidak, anak laki-lakinya yang sulung yang menjadi tumpuan cita-citanya menolak untuk jadi pengusaha. Anaknya bersikeras ingin jadi pegawai negeri. Alasannya sederhana menjadi pengusaha penuh resiko dan melelahkan, sementara jadi pegawai negeri kerjanya santai, uangnya pasti (meski tidak kerja serius dan sering bolospun gaji tidak berkurang), terus waktu tua dapat jaminan.
Bapaknya marah besar dengan alasan tersebut.
"Bapak ini pegawai negeri tapi bapak tidak bekerja dengan alasan seperti kamu.", demikian suara keras sang Ayah.
"Bapak mengabdikan diri pada negeri ini meski bapak sering merasa asing di negeri sendiri... Bapak sering merasa tolol diantara para pemeras rakyat yang sah dimata hukum. Jadi pengusaha itu lebih mulya, kamu bisa membantu memberi nafkah orang lain...". Bentak bapaknya.
Si anak diam tidak menjawab dalam ketakutannya.
Karena dimarahi bapaknya, si anak kabur dari rumah.
Seminggu tidak ditemukan. Bapak masygul mencari anaknya kesana kemari. Di minggu kedua nenek si anak telepon bahwa cucunya baik-baik saja ada di rumah neneknya. Mendengar kabar tersebut, bapak langsung datang ke rumah ibunya. Setelah bertemu anaknya terjadilah dialog dari hati kehati antara bapak dan anak.
“Mengapa kamu bersikeras ingin jadi pegawai negeri, nak?”
“Di negeri ini jadi pengusaha susah, Pak, banyak birokrasi, mendingan saya jadi birokratnya aja... Hidup lebih enak demikian”
“Kalau kamu memang ingin kerja mengapa tidak di perusahaan swasta?”
“Bagaimana saya bisa tenang kerja di perusahaan swasta, sementara pemerintahnya saja sering mempersulit pengusaha swasta kecuali orang-orang yang dekat dengan pemerintahan?”