"Atiku nganti mangkel, jawabe nganti pegel. Bola-bali aku ditakoni kapan Aku rabi. Sirahku nganti ngelu nek ketemu sedulurku. Sing ditakonke endi calonku" (Hatiku sampai jengah, jawabnya sampai capek. Berkali-kali Saya ditanya kapan nikah. Kepalak saya sampai pusing kalau ketemu saudara sepupu. Yang ditanya mana calonnya)
Saya tersenyum simpul mendengarkan lirik lagu "Jomblo Kesekso" yang secara tidak sengaja terputar di playlist Youtube ketika sedang mengerjakan artikel. Lirik tersebut mungkin mewakili perasaan  sebagian orang  yang telah memasuki usia yang cukup untuk menikah.Â
Di Negeri Kita tercinta, terutama yang tinggal di kota-kota kecil, baik laki-laki maupun perempuan yang masih melajang padahal telah memasuki usia yang 'cukup' untuk menikah pasti sering ditanya "kapan nikah". Â Tak jarang pertanyaan ini dapat mengganggu pikiran dan membuat tertekan. Ajang kumpul keluarga maupun teman lama biasanya tidak lepas dari pertanyaan "kapan nikah?", "kapan nyusul?", "mana calonnya?", "kebanyakan milih-milih sih..." dan sebagainya. Alij-alih menaruh perhatian pada yang ditanya, pertanyaan-pertanyaan itu dianggap wajar dan dengan entengnya dilayangkan kepada kerabat atau teman yang terlihat masih sendiri. Itulah sebabnya mengapa Saya menghindari ajang kumpul-kumpul maupun reuni.
Menurut Psikolog Klinis dan sexuality Educator, Ines Kristanti, M.Psi., Psikolog, perhatikan bagaimana konteks orang menanyakan kepada Kita. Selain itu pikirkan juga apa tujuan yang ingin mereka mau atas pertanyaan tersebut. Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan sejenis memang murni sebagai bentuk perhatian saat melihat teman atau kerabat yang belum melepas masa lajang. Namun bisa juga mereka  menanyakannya hanya sebatas candaan iseng atau ingin tahu alias kepo.Â
Yang sering kali tidak disadari adalah  dampak psikologis dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pernahkah terpikirkan bahwa mereka yang belum menikah sebenarnya merasa sedih dalam hatinya karena tidak kunjung dipertemukan dengan jodohnya, dan pertanyaan "kapan nikah" justru menambah kesedihannya?  Menambah beban pikirannya? Cobalah untuk menempatkan diri di posisi mereka.Â
Memang, ada beberapa jawaban yang bisa diberikan. Mulai dari jaawaban logis sampai jawaban sadis. Alangkah lebih baik jika Kita bisa mengontrol hati dan menjawab dengan jawaban yang baik-baik serta sarat dengan doa. Siapa tahu ada malaikat lewat dan menyampaikannya kepada Allah sehingga doamu segera terkabul. :)
Saat ini yang terpenting adalah menata kembali hatimu agar bisa menerima kehadiran calon pasangan. Ikhlaskanlah luka yang telah lalu. Saat kita telah mengikhlaskan apa yang telah terjadi pada diri kita, berdamai dengan diri sendiri, menerima diri apa adanya dan bersyukur, maka pada saat itulah kita mulai menemukan kebahagiaan diri kita.Â
Tak dapat dipungkiri , dalam konsensus umum negara kita, perempuan akan dianggap "enggak laku" atau "terlalu selektif" ketika belum menikah di usia 30 tahun. Jika batas waktunya tiba, bersiap-siaplah diberondong pertanyaan "kapan nikah?". Meskipun awalnya Saya termasuk orang yang tidak pernah ambil pusing dengan stereotip tersebut dan merasa sudah 'kebal' dengan pertanyaan "kapan nikah?", masih sempat terbesit pikiran untuk 'lari' ke Jakarta dimana masih banyak teman Saya yang berusia lebih dari 30 tahun dan masih melajang dapat dengan tenang menjalani kehidupannya tanpa diribeti pertanyaan "kapan nikah?".
Konsensus sosial tanpa sadar telah membentuk standar kebahagiaan yang berbeda bagi perempuan. Mereka dituntut menikah cepat dan punya anak untuk bisa dapat predikat 'bahagia'. Sementara standar yang sama tidak disematkan kepada laki-laki. Amat jarang bagi laki-laki mendapat komentar nyinyir soal pernikahan di umur yang menginjak kepala tiga. Laki-laki lebih sering ditanya soal jabatan, atau pekerjaan, sesuatu hal yang bisa diusahakan. Pertanyaan yang sama tidak berlaku untuk perempuan. Mereka dilihat dari hal-hal yang kadang mereka sendiri tak punya kuasa untuk memperjuangkannya. Setinggi apa pun jabatan dan prestasi perempuan, mereka akan tetap ditanya soal nikah dan anak. Mereka dianggap belom sukses jika belum menikah dan punya anak. :(Â
Saya kadang berpikir, sia-sia perjuangan Kartini kalau masih ada orang yang berpikir seperti itu. Apalagi sesama perempuan. Masak sebagai perempuan tidak boleh untuk bercita-cita setinggi-tingginya? bermimpi setinggi-tingginya? jadi Bupati misalnya :D ups.... Â