Saat saya mengambil mata kuliah kebijakan kesehatan di FKM Â UNDIP Â lebih dari 20 tahun lalu, saya pernah mendengar salah satu otokritik dari salah seorang dosen mengenai dokter. Disebutkan, belum tentu seorang dokter dapat secara otomatis memimpin RS atau Puskesmas. Menurut dosen saya itu, salah satunya karena selama masa pendidikannya, dokter lebih fokus belajar mengenai 1 tubuh. Perlu berbagai ilmu tambahan termasuk ilmu manajemen untuk menjadi pimpinan di institusi kesehatan.Â
Maka, ketika pada suatu episode, RS kami dipimpin oleh seorang apoteker yang mempelajari ilmu mengenai manajemen RS (MARS), kami merasa bahwa kepemimpinan beliau ini lebih  komprehensif dari sebelumnya. Namun, masa jabatan beliau ini berakhir beriringan dengan terbitnya UU ttg RS yang secara gamblang menyebutkan bahwa direktur RS adalah seorang tenaga medis (dokter, baik dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis). Sah, UU no 44 tahun 2009 pasal 34 menyebut Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.Â
Sejak saat itu, frame berpikir saya lebih condong kepada pemikiran bahwa memang sudah selayaknya seorang leader di dalam penanganan pasien di RS dipimpin oleh seorang dokter yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Konkritnya, dibuktikan dengan ijazah di bidang ilmu perumahsakitan. Semacam itu.Â
Selasa sore kemarin, saya mendengar tentang kemenkes yang diamanahkan pada pak mentri yang baru. Bukan seorang dokter. Saya jadi ingat perkuliahan bertahun-tahun lalu itu. Bisa jadi alasan dipilihnya pak Budi sebagai menteri kesehatan karena dianggap mampu memanaje kementerian kesehatan. Dan ternyata, Indonesia bukan satu satunya negara yang menteri kesehatannya bukan seorang dokter.Â
Saya belum terlalu paham siapa pak Budi ini karenanya saya tak hendak menghakimi. Saya hanya bisa turut mendoakan, semoga kementerian kesehatan menjadi lebih baik sesudahnya. Semoga PR-PR yang tersisa dapat dikerjakan bertahap dan berpihak pada rakyat banyak.Â
Antimainstream bisa berkorelasi kebaikan atau keburukan. Semuanya masih butuh proses untuk membuktikan. Semoga saja ini menjadi hal baik bagi masa depan kesehatan di Indonesia.Â
Saya juga bukan dalam kapasitas untuk setuju atau tidak setuju, karena nya saya tetap bertekad terus maju. Melakukan apa yang terbaik yang masih bisa dilakukan. Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki. Dan kadamg-kadang harus melakukan apa yang cenderung tidak dikerjakan oleh orang lain dalam tim kami.Â
Dalam bahasan mengenai mutu, ada istilah kaizen atau continuous quality improvement. Siapapun menteri nya, quality harus terus diupayakam. Sebab jargon quality or die sudah kadung melekat.Â
Nampaknya, itu pula yang harus dilakukan oleh para pejabat di kementerian. Atau para nakes di berbagai bidang. Meskipun konon pak Budi akan mulai menata segala sesuatu terkait vaksin covid 19, bukan berarti bidang yang lain ditinggalkan bukan? Tetap melangkah maju, tetap lakukan perbaikan demi perbaikan. Tetap Plan Do Cek Action ataupum Plan Do Study Action.Â
Legowo itu tidak mudah, tapi bisa diupayakan. Semoga harapan masa depan kesehatan Indonesia menjadi semakin baik dari waktu ke waktu. Tetap melakukan yang terbaik yang kita bisa.Â
Fokus pada apa yang masih bisa diperbaiki. Makin baik dan semakin baik. Semoga keberpihakan pada mereka yang paling membutuhkan menjadi salah satu prioritas kementerian kesehatan di masa yang akan datang.Â