Menjelang waktu pemilihan umum tiba, seharusnya masyarakat Indonesia diberikan masa tenang yaitu waktu untuk terbebas dari kampanye maupun pengaruh dari pasangan calon presiden manapun. Namun, hal ini sangat berbanding terbalik dengan munculnya film dokumenter yang berjudul “Dirty Vote”. Film ini merupakan karya sutradara Dandhy Laksono dan diisi oleh tiga ahli hukum tata negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti tersebut diluncurkan Minggu 11 Februari 2024. Hingga 13 Februari 2024, film telah ditonton 16 juta kali di Youtube.
Singkat cerita, film dokumenter ini menceritakan kecurangan pemilu atau praktik politik yang meragukan dapat menyajikan sudut pandang yang beragam, tergantung pada naskah, sutradara, dan pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat filmnya. Beberapa film semacam itu dapat menyoroti tantangan demokrasi, kekuatan uang dalam politik, manipulasi pemilih, atau masalah lain yang relevan dengan proses pemilihan.
Kemunculan “Dirty Vote” pun membuat gempar masyarakat Indonesia karena mulai bermunculan spekulasi beragam mengenai hinaan yang dilontarkan terhadap paslon (pasangan calon) tertentu. Padahal jika kita telisik lebih lanjut, semua keburukan yang terjadi pada perpolitikan Indonesia hadir dalam “Dirty Vote”. Sayangnya, beberapa tokoh dan orang-oranga da di dalamnya dikabarkan telah dilaporkan karena dituduh melalukan black campaign. Hal ini pun seperti yang diulas dalam adanya pelaporan sutradara dan tiga pakar hukum tata negara pengisi film dokumenter “Dirty Vote” ke Mabes Polri. Langkah itu merupakan upaya untuk membungkam pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu dan menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024.
Upaya pelaporan tersebut, khususnya dalam ranah media masa tak akan terlepas dengan penggunaan bahasa dan kode etik jurnalistik yang ada. Ditambah, kini Indonesia sudah menerapkan Undang-Undang ITE yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2008 yaitu Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE. Sehingga masyarakat patutnya lebih berhati-hati dalam berekspresi dan berkomentar. Hal ini pun dapat kaji lebih dalam melalui Dalam praktiknya, analisis linguistik forensik dapat memberikan bukti yang kuat atau bahkan membuktikan kesalahan dalam kasus hukum.
Beberapa contoh penggunaan linguistik forensik adalah analisis fonetik, analisis teks, dan analisis wawancara. Saat ini, bahasa memiliki peran yang semakin kuat dalam memecahkan perkara hukum, salah satunya ditandai dengan perkembangan linguistik forensik. Linguistik forensik merupakan persilangan antara bahasa, kejahatan, dan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum, urusan pengadilan, legislasi, perseteruan di pengadilan, dan sebagainya.
Penerapan linguistik forensik dapat didukung dengan beberapa kajian linguistik lainnya seperti semantik, sintaksis, morfologi, phonologi dan lainnya.Sementara yang menjadi fokus pada tulisan ini adalah Fokus pada analisis narasi tertulis atau lisan untuk menemukan konsistensi atau inkonsistensi dalam cerita, yang bisa membantu mengungkap kebohongan atau memeriksa kesaksian dalam kasus hukum.
Seperti narasi yang dituturkan oleh Bivitri Susanti, menyatakan bahwa tuturan yang disampaikan oleh Zulkifli dalam rakernas APPSI 2023 bahwa “ada orang ketika sholat dan setelah membacakan surat al-fatihah mereka tidak mengucapkan “Aamiin” karena kata tersebut dapat diindikasi sebagai pendukung paslon 01 dan alasannya saking cintanya dengan Pak Prabowo”. Pada saat Zulkifli menjelaskan ketika seseorang sedang melakukan gerakan sholat tahiyatul akhir, ada saja orang yang menggunakan dua jarinya. Ekspresi beliau terlihat menertawakan hal tersebut, namun karena bekaitan dengan hal yang berbau dengan keagamaan seharusnya hal itu tidak layak untuk ditertawakan.
Bivitri kemudian memberi penegasan bahwa hal yang dijadikan narasi yang dituturkan oleh Zulkifli seharusnya tidak digunakan sebagai canda tawa karena hal tersebut cukup sensitif, mengingat masyarakat Indonesia sepenuhnya merupakan masyarakat muslim. Melalui tuturan tersebut, sebenarnya Zulkifli bisa saja dilaporkan atas tindak tuturan yang melecehkan agama tertentu namun hal tersebut tidak cukup kuat apabila dari pihak saksi dalam pertemuan tersebut tidak merasa dilecehkan dan daat menerima narasi yang dituturkan oleh Zulkifli.
Melalui linguistik forensik, sebaiknya kita selalu menjaga apa yang ingin dilisankan atau dituliskan karena hal tersebut dapat menjadi evidence dalam suatu pengadilan. Hal ini pun diharapkan agar kita memiliki kepekaan berbahasa agar tidak saling menyinggung ataupun membuat kesalah pahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H