Mohon tunggu...
min merry
min merry Mohon Tunggu... -

http://www.minmerry.com

Selanjutnya

Tutup

Money

A Note To Remember

29 Juli 2010   08:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Death may be the greatest of all human blessings.  ~Socrates Mengutip darinya tentang kehidupan, anyway, aku tahu Socrates serius dengan tulisannya. Dan hingga hari ini, aku berusaha untuk percaya padanya. Jika ada satu atau mungkin beberapa hal yang membuatmu sungguh menyukainya, sungguh mencintainya lebih dari apapun. Apapun. Didunia ini. Hal itu mampu membuatmu bisa menuliskannya, menceritakannya berkali-kali. Dan sesungguhnya, itu tidak akan pernah cukup. Perasaan rindu itu tidak akan pernah hilang. Karena saat menulis tentang yang kamu sayangi, kamu cintai, membuatmu merasa dekat padanya, dan ingatan itu tidak akan pernah hilang. Mungkin untuk waktu yang cukup lama. Saat tanpa sengaja mendengar sebuah lagu. Saat tengah membaca sebuah buku. Saat berjalan, dan berpapasan dengan sosok yang sama dengannya. Saat duduk di dalam bus, yang melaju di tengah keramaian pagi hari, atau sekedar menikmati kopi di akhir pekan yang sunyi. Terkadang, semuanya itu, mengingatkanku akan dirinya. Semua hal tentang dirinya dalam hidupku. Mengingat…Mudah sekali membuat cerita-cerita kehidupan yang indah, yang lucu, yang mengesalkan, yang mengharukan dengan orang-orang yang terkasih. Tujuannya memang adalah tidak untuk dilupakan. Tujuannya memang adalah untuk terus diingat di sepanjang hidup. Setiap pagi, aku akan membangunkannya, dengan gedoran yang sangat berisik. Dia akan bangun, kadang ia menggodaku karena wajahku yang masih mengantuk. Lalu aku akan segera mengganti seragam kerja, membuka pintu garasi, dan menunggunya selesai mandi. Dia akan mengantarkanku ke kantor. Setiap pagi. Dua puluh menit di dalam perjalanan. Di pagi hari, dia suka menceritakan isi hatinya, kadang aku mengangguk, kadang aku mengomentarinya lalu kami sama-sama tertawa. Setelah ia mengantarkanku, ia akan kembali ke rumah, dan menghabiskan paginya di sebuah warung dekat rumah. Mengobrol dengan teman-teman lamanya. Dia akan merokok. Merokok satu-satunya hal yang ia tidak mampu ubah demi diriku. Sekarang, setiap kali masuk ke seven eleven dan menatap deretan nikotin itu, aku perasaan pilu dan rindu yang menyergap. Saat lulus dari Sekolah Menengah Umum, aku sudah langsung masuk ke dunia kerja. Cukup banyak teman yang membantu memberiku marathon lowongan pekerjaan. Sungguh mudah masuk ke dalam satu pekerjaan, dengan status pemula. Karena aku tidak menentukan syarat, tidak menentukan gaji, dan haus akan pelajaran apapun. Itu juga memudahkan perusahaan hingga membuat keputusan untuk menerimaku. Gaji pertama tidaklah besar. Namun, aku ingat memberikan padanya sejumlah kecil dari gajiku setiap bulannya. Dia sungguh senang. Dia sungguh bangga dan sangat teharu. Kamu tahu, kesuksesan tidak diraihnya. Pendidikan tinggi tidak diperolehnya. Hanya kesetiaan pada pimpinan perusahaan tempatnya berkerja selama hampir tiga puluh tahun, yang sehingga pimpinan perusahaanya meninggal, ia turut pensiun. Seumur hidupnya, setiap sen baginya berharga, terutama dari putrinya. Dan putrinya menghargainya, setiap kerja kerasnya, hingga ia tua, sang putri masih meneladani kesetiannya. Ah mungkin benar, setiap kehidupan hampir meyerupai permainan suatu alat musik yang melodius. Ambil saja contoh piano. Aku yakin, kamu juga menyukai musik. Setiap orang menyukai musik. Berbicara tentang musik, tentang lagu… Kadang alunan nadanya teratur, dari satu not berpindah ke not yang lain, penuh dengan iringan melodius, dalam irama-irama yang lembut menyenangkan. Kadang sedikit lambat dan menenangkan. Dan ya, kadang penuh dengan chord dan tempo yang cepat, hingga ada persaan rindu akan chord yang lembut itu datang kembali. Bukankah menikmati hidup sesungguhnya teramat dekat dengan cara menikmati sebuah lagu yang indah? Saat ini, aku duduk sendirian, menikmati tempo lambat dan menenangkan. Aku berada di perpustakaan, dengan pemandangan ratusan deretan dan barisan rak buku yang berisi ribuan buku di sebelah kananku, dan sebuah taman dengan pohon-pohon di sebelah kiriku. Dengan dinding kaca yang menutupi sebagian perpustakaan, setiap yang membaca, menulis dan menghabiskan waktu disini dapat menikmati sebuah taman yang indah. Deretan buku seperti labirin raksasa, di tengah taman dan langit biru sebagai bingkainya. Seperti menulis di bawah langit, di tengah taman, dengan kubah persegi yang terbuat dari kaca. Dan aku berada di dalamnya, duduk dan menuliskan ini. Pagi ini, dia kembali ada dalam ingatanku. Kadang ingatan membawaku seolah bisa merasakan sentuhan dan pelukannya. Aroma tubuh dan suaranya. Begitu nyata, sekaligus begitu jauh. Kamu tahu, chord dan tempo tidak akan sama dari awal lagu hingga selesai. Meski aku menyukainya begitu. Meski aku mengharapkannya begitu. Tujuh bulan yang lalu, Desember, aku menikah. Dengan seorang pria yang mengenalku cukup baik selama hampir tujuh tahun. Lelaki dengan hati yang sama lembutnya. Lelaki yang mengasihiku. Lelaki yang kupercaya, percaya yang sama, percaya yang seperti aku tidak memiliki keraguan terhadap ayah. Sore itu, dengan diiringi pemain musik terbaik, deretan soloist, paduan suara dengan barisan dan suaranya. Dan ribuan pasang mata. Ribuan pasang mata menyaksikan langkahku dan pendamping hidupku. Aku melangkah masuk. Aku begitu yakin, hari itu adalah hari yang paling ia tunggu seumur hidupnya. Menggandeng putrinya masuk menuju altar pernikahan. Jika dia mampu menunggu dua tahun lagi. Cukup dua tahun lagi, aku bisa memberinya kesempatan itu. Diiringi megahnya Here Come The Bride, ayah bisa melangkah dengan gagah, sedikit membusungkan dada dan dengan tangan putrinya digandeng pada lengannya, berjalan menuju altar. Dia pasti menangis. Aku yakin begitu. Dibalik ketegaran, ketabahan dan sosoknya yang kasar. Hatinya sungguh adalah hati seorang ayah yang penuh kasih dan lembut. Sepanjang hari itu, di dalam hati, aku bersyukur dia membesarkanku dengan tanpa berpaling dari jalan yang seharusnya. Dalam hati aku bersyukur, dia membesarkanku tanpa kekurangan kasih. Dalam hati aku bersyukur, dia membesarkanku dengan penuh harapan, penuh cinta akan dunia ini. Dalam hati aku bersyukur, dia tidak menumbuhkan akar kepahitan di dalam diriku. Bagaimanakah mungkin, aku tidak bersyukur untuk seorang ayah seperti dia? Tersumbatnya jalannya darah menuju otak, melumpuhkannya. Otak sebelah kanan. Tubuh kirinya tidak mampu ditaklukannya. Bahkan untuk mengepalkan telapak tangan kirinya ia tidak mampu. Tidak ada orang lain yang lebih ingin lari dari kenyataan selain dirinya. Aku tahu dan aku kenal dirinya. Harga diri, ketabahan dan kerja kerasnya. Dia yang terbaring dan menanti orang lain untuk memandikannya, membantunya untuk makan, hingga bangkit dari tidurnya, dia tidak mampu. Dia bukan lagi dirinya yang ia sendiri kenal. Dia tidak ingin orang lain mengenal dan menerima dirinya yang lumpuh dan menyusahkan. Dan dia merasa dunia berputar sementara dia berhenti pada kelumpuhannya. Dia juga menua dengan sangat cepat. Rambutnya memutih. Perlahan dia tidak banyak berbicara. Setiap kali berbicara, dia akan teringat kondisinya, dia akan teringat pada ketidakberdayaannya, dia akan menangis. Dia duduk di kursi roda, dengan bahu dan tangan yang bergetar, menangis. Hatinya hancur, begitu juga hatiku. Dia tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan bagaimana ketakukan, kegalauan, dan kesedihannya. Dan suatu pagi yang indah, dia memilih untuk pergi ke seberang langit biru. Dia pergi tanpa pesan untukku. Tanpa tanda, tanpa kata-kata. Saat aku menyentuh tangannya, dingin. Saat aku memanggilnya, dia tidak lagi membuka matanya menatapku. Ia sungguh-sungguh telah pergi. Dan satu hal lagi, dia tidak bisa lagi kembali. Berapa kalipun aku memanggilnya. Jika waktu diputar kebelakang, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Aku masih enam atau tujuh tahun saat itu. Sambil menimati susu vanilla-ku, aku melihat dunia dalam berita bersama ayahku. Malam itu, malam pertama aku tahu waktu manusia di dunia, tidak diketahui siapapun. Setiap orang akan mati, meninggalkan dunia ini. Malam itu, aku menangis lalu tertidur. Dan sejak hari itu, aku berdoa, hari dimana hidup akan berhenti tidak akan pernah datang. Namun, bagaimanapun, saat itu tetap akan datang juga. Saat hidup mungkin akan berhenti. Kepergian ayah adalah kepergian sebagian dari hidupku. Sebagian dari diriku. Sebagian dari masa kecil, sebagian dari masa aku menjadi remaja, hingga aku menjadi wanita dewasa. Dia ada dalam diriku. Dia adalah ayah yang membentuk hati yang hangat di dalam diriku. Dia adalah ayah yang meyakinkanku, dunia ini punya hal-hal kebaikan dalam hidup. Dan, dia benar. Hampir dua tahun, ayah berada di seberang langit biru. Hal-hal yang kuingat tentangnya hanya hal-hal terbaik. Hal-hal bahagia aku dengannya. Hari dia menggandengku ke sekolah. Hari dia menjemputku dari sekolah. Hari dia pulang hanya untuk menemaniku menerima suntikan dokter. Hari pertama aku tidak tidur dirumah, dan esoknya aku memberikannya ciumanku. Hari dia memasang roda pada sepeda pertamaku. Hari dia membiarkanku pergi bersama teman-teman. Hari pertama dia membiarkanku menyetir, dan sejak hari itu, aku selalu menyetir untuknya. Kamu tahu, sejak aku lahir dia tidak pernah meninggalkanku. Tidak seharipun. Kadang aku masih mengirimkan pesan pada nomor ponselnya. Dan aku menegur diriku karena kekonyolan yang kulakukan. Pesan itu tidak pernah sampai, tent saja, lalu menangis karena perasaan rindu itu tidak terbendung. Sepanjang atau seindah apapun permainan sebuah lagu, akan tetap sampai pada chord penutup lalu lagu itu akan berakhir tanpa siapapun perlu mencegahnya. Berada di dalam bus, duduk, dan merindukannya, akan tiba saatnya untuk turun dan melanjutkan hariku. Dan sebagian perasaan itu akan tetap tinggal. Dan, ayah… Di sana…, baikkah? Ayah tahu? Aku bersyukur… Masih ada ibu disisiku. Aku masih mendengar suaranya, masih bisa menghormati dan menyayanginya. Ibu juga adalah bagian dari dirimu, ayah. Aku akan mengasihinya. Aku akan mengasihinya. Sementara aku meneladanimu, ayah, untuk mengasihi Ibu, seperti engkau mengasihiku. Dan saat saat seperti ini, saat aku merindukanmu, aku akan menulis tentangmu, tentang kita. Dalam hati dan tulisan ini, biarlah aku bersaksi, aku akan memelihara baik-baik keluarga kecil yang baru dimulai ini. Dan biarlah kesetiaanmu, cintamu, bukan hanya sampai pada putrimu. Tapi sampai pada semua ayah dan anaknya, seluas kata-kata ini bisa sampai, sedalam kata-kata ini bisa dimengerti oleh mereka. A note from your daughter, note to remember you. Miss you, daddy. Pic grab from : here (http://2.bp.blogspot.com/_ShQLVe3_1XY/SwctcEUcuGI/AAAAAAAAAMw/EBQ3YE7vhVY/s1600/i_love_you_comment_35.jpg)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun