Mohon tunggu...
Minimoey Arifin
Minimoey Arifin Mohon Tunggu... -

aku adalah aku yang sedang mencari dimana aku dan siapa aku, jadi siapa aku???

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Theodor Adorno dalam “Teori Musik Pop"

30 April 2010   06:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Budaya merupakan hal yang hidup dalam masyarakat serta memiliki nilai-nilai yang umumnya tidak dapat diperjual belikan. Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi pedoman diri individu dalam masyarakat sebagai filter diri terhadap hal-hal yang dinilai jauh dari tindakan, katakanlah, tidak bermoral dan sejenisnya. Budaya dengan nilai-nilai yang dikandungnya, merupakan proses berfikir yang tidak dapat dipertukarkan dan lebih memiliki asas manfaat ketimbang asas tukar.

Pertumbuhan industri dan kapitalisme, memaksa budaya untuk keluar dari pakemnya demi memuaskan beberapa elit modal. Kekuatan nilai-nilai yang hidup dalam budaya di masyarakat sebagai filter terhadap produk-produk industri, membuat kaum kapitalis resah dan mencari celah demi dominasi ekonomi yang berkelanjutan. Pemanfaatan celah melalui jalan packaging memunculkan industri tersendiri dalam budaya yang kemudian akrab disebut dengan industri budaya. Kemunculannya juga menghasilkan fetisisme komoditas demi melancarkan proses industri budaya. Adorno menganalisis fenomena tersebut melalui teori musik pop. Teori musik pop merupakan analisis yang terkenal dari Adorno dalam menjelaskan industri budaya. Menurutnya, teori pop ini terkait dengan teori industri budaya dan fetisisme komoditas.

Fetisisme Komoditas dan Teori Industri Budaya

Fetisisme komoditas ialah suatu upaya yang dilakukan industri sedemikian rupa hingga menciptakan pemujaan yang salah terhadap suatu produk industri budaya kepada masyarakat. Masyarakat bukan lagi memuja suatu produk industri budaya yang secara nyata ada, tetapi pemujaan tersebut lebih cenderung dialamatkan kepada simbol dan merek dari produk tersebut. Mereka merasakan kenikmatan semu melalui merek dan simbol-simbol dari produk industri budaya dan menganggap hal tersebut kenikmatan yang mereka dapatkan sejatinya dari produk yang memiliki nilai tersendiri. Contohnya ialah ketika seseorang membeli tiket konser, maka yang dipuja-puja bukanlah konser tersebut tetapi simbol dan brand dari konser tersebut yakni tiket konser yang berlabel serta dibeli dengan harga yang tidak murah. Fetisisme komoditas ingin berbicara mengenai kenikmatan semu yang dirasakan masyarakat dalam mengkonsumsi produk industri budaya dan mengenai kesalahan penempatan pemujaan terhadap produk tersebut.

Sedangkan teori industri budaya ingin menyatakan bahwa industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu. Maka dari itu industri budaya berusaha mengaburkan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal tersebut hingga orang tidak menyadari apa yang tengah terjadi (Strinati, 2007: 69). Melalui industri budaya dan fetisisme komoditas inilah teori musik pop muncul dan membuat musik menjadi unit analisis Adorno demi membuktikannya.

<!-- @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } -->

Teori Musik Pop

Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Ibid: 73). Dengan kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri. Pengkomodifikasian tersebut yang menghasilkan fetisisme komoditas nantinya. Hal tersebut membuat individu maupun masyarakat salah alamat terhadap pemujaan mereka atas musik pop.

Sementara standarisasi berjalan, individualitas semu dijalankan demi membuat kabur individualitas rasa yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik. Individualitas rasa merupakan hal yang dihasilkan produk budaya dalam mempengaruhi suasana individual (Ibid: 70). Demi mengaburkannya, individualitas semu diciptakan. Individualitas semu mengacu pada perbedaan-perbedaan dalam musik pop yang sifatnya hanya kebetulan, hal ini dapat tercipta melalui pengaburan kemiripan-kemiripan dalam musik pop dengan cara memberi variasi.

Adorno mencoba membandingkan hal ini dengan musik klasik dan titik temunya adalah pembahasan mengenai standarisasi dan non standarisasi. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas (Ibid: 74). Musik klasik dianggap mempunyai detail yang membuatnya berbeda satu sama lain serta dapat membangkitkan rasa individualitas masyarakat. Sementara itu, ketidakhadiran detail dalam musik pop dimaknai sebagai kerangka, yakni standarisasi terhadap musik-musik pop yang ada dan menentang prinsip-prinsip liberalitas karena tidak diperbolehkannya individu memilih musik yang lebih variatif dalam musik pop. Hal tersebut karena sudah terpakemkan, baik dari segi produksi maupun konsumsi.

Namun demi memunculkan detail-detail dalam musik pop, kaum industri menciptakan individualitas semu, yakni membuat suatu kebebasan individu dalam memilih musik pop, tetapi kebebasan tersebut pun telah distandarisasi sebelumnya oleh elit-elit industri. Hal ini disebut kebebasan yang ada karena standarisasi itu sendiri. Contohnya terdapat dalam musik Jazz, improvisasi yang ada merupakan individualisasi semu guna mengaburkan standar maupun pakem-pakem yang telah dibuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun