Mohon tunggu...
Stefanus Dominggus
Stefanus Dominggus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Filsafat Unika Parahyangan Bandung. culture studies, lovely music and writing

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Hantu" Simulasi Sosial dan Cyber-Society

25 November 2013   21:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

SimulasiSosial dan Cyber-Society

Apa jadinya jikaberbagai ruang sosial yang adanya di dunia nyata kini dapat kita lihat wujudnya di dalam cyberspace ? atau bahkan sebagai realitas yang artifisial, cyberspace justru dapat menarik berbagai ruang sosial untuk kemudian menciptakan simulasi sosial ? .

Kegilaan cyberspace terletak pada obsesinya untuk menjadikan segala fantasi,segala ilusi,segala halusinasi, segala mimpi menjadi kenyataan. Bahkan cyberspace dapat mensimulasikan segala sesuatu yang selama ini dianggap sebagai supernatural, sebagai metafisik,sebagai transenden. Didalam cyberspace kita dapat “hidup” bersama hantu atau lebih jauh lagi kita dapat berperan sebagai “hantu” itu sendiri.

Cyberspace adalah wadahyang didalamnyaditempati oleh beraneka ragam simulasi sosial. Ragam simulasi sosial yang terus berkembang ini tanpa sadar telah memperngaruhikehidupan sosial yang ada pada dunia nyata.Pada tingkat individu, cyberspace telah berhasil membuat makna identitas menjadi kabur.Sebab didalam simulasi sosialsetiap orang dapat memainkan perannya sesuka hati.Ia bisa berubah setiap waktu tanpa adanya rasa canggung, bahkan cenderung asik dan menikmati berbagai perannya.Jika setiap individubisa mengenakan kostum identitas apapun sesuka hatinya, maka identitas itu sendiri sesungguhnya telah “mati”. Didalam psikoanalis , situasi ini disebut oleh R.D. Laing sebagai situasi diri terbelah(devided self) atau oleh Lacan disebut sebagai skizofrenia. Selain identitas menjadi kabur, pada tingkat individu cyberspace juga menciptakan candu cyber semacam ketergantungan ataupun maniak terhadapdunia virtual. Sehingga sudah tidak asing lagi jika kita banyak melihat warnet-warnet yang menawarkan paket-paketjam (happy hour) untuk menikmati kecanggihan ruang-ruang simulasi sosial.

Sedangkan Pada tingkat antar individu, dalam hal relasi ataupun interaksi antar individu yang biasanya dominan dilakukan didunia nyata, kini telah tergerus dan hilang secara perlahan. Segala atribut pendukung seperti ruangataupun teritori yang selama ini ada pada dunia nyata telah kehilangan peran. Maka yang ada adalah deteritorialisasi yang disempurnakan dengan hadirnya halusinasi teritorial. Yang mau mengartikan bahwadalam cyberspace,relasi antar individu diandaikan dekat secara sosial namun jauh secara teritori dan sebaliknya dekat secara teritori namun jauh secara sosial.

Dan Pada tingkat komunitas, secara global cyberspace telah menciptakan satu model komunitas yang memiliki karakternya sendiri. Bahkan memiliki rules yang berbeda pula denga dunia nyata. Apabia didunia nyatalekat dengan struktur dan segala birokrasinya, justru cyberspace adalah ruang yang bebas dan tanpa control (anything goes) , yang kemudian membawa dirinya dijuluki sebagai posdemokrasi. Dalam artian konsep narasi besarberkembang tanpa adanya control dan dan cenderung “arogan”. Akan tetapi bukan berarti dalam cyberspace tidak terlepas dari control dan menjadi otoriter sepenuhnya. Dunia virtual tetap menyisakan adanya suatu kecacatan yakni, ia tetap tidak bisa menjamin bahwa ruang sosial yang telah terciptadi dunia virtual ini bisa mengganti dunia ideal. Sebab didalamnya masih terdapat berbagai bentuk “kekerasan”.

Ruang-ruang Implosi Sosial.

Baudrillard mengartikan Implosi sosial sebagai peledakan sosial kearah dalam atau pengumpulan aktivitas dan peristiwa sosial kedalam simulasi sosial di dalammedia. Ada semacam pemadatan ataupun penumpukan realitas sosialkedalam segmen-segmen simulasi sosial didalam layar televisi atau internet,sehingga kini segala hal hadir dalam wujud virtualnya didalam media. Bom informasi di dalam cyberspace mengkondisikan meledaknya segala macam informasi kearah kita (pengguna internet), yang kecepatannya “melampaui” kemampuan manusia untuk menyerapnya. Informasi tidak lagi mendatangi kita, tetapi “menyerang” kita.

Pada tahap ini proses dari semua itu kemudian menciptakan pula suatu “ketelanjangan”, yang dalam bahasa Baudrillard dikatakan sebagai kecabulan (obscene). Sebab ketika realitas sosial didunia nyata yang dianggap tabu, sakral,relegius kini dengan sangat mudah dapat dipertontonkan kepada masyarakat luas dantidak hanya dipertontokan bahkan ia membongkar serta mempermainkannya,tanpa adanya batas dan pembatas.(hyper-visibility)

Kecabulan itu antaralain : kecabulan informasi yakni pengeksposan informasi secara berlebihan dan bahkan bersifat remeh temeh. Kecabulan komoditi yakni ketika apapun dijadikan komoditi.kecabulan tanda yakniketika apapun diberi tanda sekaligus diberi makna. Kecabulan lain juga berlaku ketika situasi antara yang mengawasi dan diawasiberlangsung secara tidak nampak yangdapat merugikan satu sama lain. Yang dalam bahasa Michel Foucault disebut sebagaiPonoptikon. Yang mengandaikan bahwa kita bisa bertindak sebagai orang yang diawasi tetapi tidak dapat melihat orang yang mengawasinya sekaligus namun ia sadar bahwa dirinya dikuasai dan dikendalikan.

Open Society atau Matinya Sosial

Geoge Sorosmendambakan suatu masyarakat yang bergerak dinamis dengan membiarkan mereka memasuki berbagai dunia alternatif. Dengan begitu segala bentuk ikatan yang permanen dan mengikat dianggapnya sebagai hambatan. Maka konsep jaringan besar yang mengarah global adalah salah satu bentuk masyarakat terbuka. menggambarkan masyarakat yang terbuka menurut Soros menuntut pula bentuk-bentuk komunikasi yang terbuka.Dan menurutnya komunikasi yang terbuka itu ada pada cyberspace. Sebab cyberspace adalah ruang (maya) yang didalamnya dapat dengan mudah ditemukan “teks-teks terbuka”. Akan tetapi keterbukaan yang tanpakontrol hanya akan menggiring anarkisme dan menimbulkan situasi chaos.

Referensi

·Yasraf Amir Piliang, Posrealitas-Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika,Jalasutra, Yogyakarta 2004

·Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari-Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, Grasindo,Jakarta 2004

Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari-Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital, Grasindo,Jakarta 2004. hal.117

Ibid hal.110 bdk : Akan tetapi , didalam masyarakat postmodern ada kecenderungan untuk melihat skizofernia bukan sebagai “abnormalitas” melainkan justru sebagai suaru “roh penggerak sosial”. Atau Gilles Deleuze dan Felix Guatarrimengartikannya sebagai “gerakan pembebasan diri” ....

Ibid halaman.119

mahasiswa Fakultas Filsafat Unpar Bandung/ email :stefanusminggus@rocketmail.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun