Manusia pada hakikatnya adalah agen cinta,ia hidup ditengah-tengah mahluk hidup lainya, ia berinteraksi dengan lingkungan disekitarnya untuk memberikan cinta,menumbuhkan cinta, menunjukan cinta yang sudah ada pada dirinya (pure givenness). Tugas manusia sesungguhnya sangat sederhana, ia hanya memberikan cinta, menaburkan cinta tanpa melihat kepada siapa cinta itu akan diberi dan tidak meminta cinta itu kembali kepadanya. Atau bahkan I can love someone who is not present or who remains anonymous. Akan tetapi secara the facto, berbicara mengenai cinta pada era ini sungguh rumit, ia bagaikan “mahluk halus” yang tidak terpikirkan, namun sejalan dengan itu, ia juga tidak terelakan. Cinta menjelma menjadi komoditi yang luhur sekaligus dipertontonkan dengan jumlah massal, ia dipuja sekaligus dibenci. Sudah begitu banyak kasus yang mengatas-namakan “cinta’ namun ia justru bertentangan dengan semangat cinta itu sendiri.
Realitas paradoks inilah yang membawa penulis untuk merefleksikan kembali realitas cinta sekaligus menemukan serpihan –serpihan cinta yang tulus lewat aktifitas sehari-hari dan berusaha mengangkat kembali esensi cinta sebagai fenomenology of the unappearance . Aktifitas sehari-hari yang penulis angkat untuk membahas cinta secara fenomenologis berasal dari kelompok yang berusaha mewujudkan “cinta” nya terhadap pola makan dan berorientasi pada bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Atau yang populer dikenal dengan sebutan Vegetarian. Tentunya banyak sekali alasan yang kemudian membawa seseorang untuk menjalani pola hidup vegetarian, Mulai dari alasan kesehatan, praktik keagamaan, isu lingkungan hidup dan masih banyak lagi. Akan tetapi, yang menarik bagi penulis adalah ketika kaum vegan melakukanya dengan sadar dan tanpa paksaan. Melakukan dengan sadar dan tanpa paksaan di dalam pemaknaan kata cinta adalah salah satu syarat untuk menemukan cinta. Dengan sangat cerdas Marion pun mengatakan bahwa kata I love You memenuhi kriteria asalkan menyiratkan dua orang yang mampu berkomunikasi dengan bebas.
Pola hidup vegan bisa jadi adalah salah satu bentuk kerinduan akan cinta . Kerinduan terhadap ke-otentikan dirinya sebagai manusia seutuhnya yang tidak terzolimi oleh dualisme ala Decartes . I can forget my self. In this way I traverse my life in a state of separation of body and of thought from my self . I am not without me, without self . Sebab kaum vegan pada titik ini, memperlihatkan bagaimana daging dapat mengatasi tubuh. Kaum vegan melihat “kedagingan” melalui intuisi yang terlebih dahulu dilandasi oleh cinta, sehingga kaum vegan sangat yakin dengan pilihanya untuk tetap tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari hewani. Dengan begitu, cinta kaum vegan merupakan pemberian tiada akhir terhadap mahluk sesamanya, terutama kawanan hewani, sekaligus cinta kaum vegan mencerminkan adanya tindakan yang prelocutionary.
Kaum vegan menggambarkan dengan sangat gamblang bagaimana mereka dapat hidup dan menemukan kesatuan hidupnya didunia yang sekuler ini. Kesatuan itu pertama-tama bukan berasal dari makanan yang mereka konsumsi, akan tetapi adanya kesadaran akan hal-hal yang difine, melampaui batas akan apa yang sedang mereka hadapi. Kaum vegan menunjukan bagaimana pola hidup yang teratur, dalam artian mereka bisa menahan dan mengolah setiap nafsu akan keinginan untuk memakan daging yang kemudian dikonversikan menjadi semangat untuk lebih mengenal diri serta membangun sisi-sisi spiritual dalam hidup mereka dan menanamkan cinta yang dalam akan fenomena dihadapannya. Dengan harapan, bahwa hidup didunia sekuler ini, tidak selalu terlarut didalamnya, namun kita masih mempunyai pilihan untuk bersikap bijak terhadapnya.
Kaum vegan adalah agen cinta, yang berusaha menaburkan cintanya kepada realitas kehidupan yang dijumpainya. Mengutamakan cinta terhadap diri dan bercermin terhadap realitas yang kemudian memberikan cinta itu kepada sesamanya. Untuk itu, saya rasa tepat jika ada pepatah kuno yang berbunyi ; "Pertama kita harus mengolah diri kita sendiri, sang Diri yang agung, sang Kebijaksanaan, kemudian kita dapat mengatur keluarga, lalu dapat mengatur negara, dan kemudian kita dapat memuaskan seluruh dunia." Dirasa memang benar adanya. Ini adalah cinta yang sesungguhnya.
Apabila alam natural dipandang oleh kaum vegan sebagai fenomena (gift) yang terlebih dahulu diberikan oleh realitas yang lebih tinggi( Tuhan atau Dewa dstnya sebagai Pemberi) , dan jika manusia adalah penerima, maka “Cinta” adalah “Givenness” atau “icon” bagi kaum vegan untuk kemudian menyingkapkan cinta yang lainya (fenomenology of the unappearance). Yakni semangat kaum vegan, cinta yang pure givenness .
pada tahap ini, cinta harus dipisahkan oleh subjek (manusia) pembentuk, subjek tidak memilih,tidak memperhitungkan, tidak membentuknya. Akan tetapi cinta menunjukan dirinya sendiri kepada objek. Cinta muncul kepada subjek sebagai sebuah peristiwa yang berbeda dari segala hal terlihat dan terbentuk(termasuk kaum vegan). Fenomena keterberian memberikan dirinya dari dirinya sendiri, tanpa sebuah subjek pembentuk. Dan tentunya semangat kaum vegan inilah yang menurut penulis sebagai ‘bentuk lain’ dari cinta yang pure Givenness.
Sebagai penutup, saya rasa semangat kaum vegan ini sangatlah baik untuk dipromosikan oleh segala umat yang rindu akan ‘kepenuhan’ cinta dan mendambakan kebahagiaan serta kedamaian bagi semua makhluk hidup di muka bumi ini. cinta yang mengutamakan memberi, sebagaimana digambarkan oleh beraneka macam tumbuhan (buah-buahan,sayur-sayuran,bunga,) dan lainya, yang selalu memberikan hasilnya kepada mahluk hidup tanpa melihat intensionalitas.
Pustaka
1.Jean Luc Marion, The Visible and the Revealed, Fordham University Press ,New York ,2008
2.Jean Luc Marion , In Excess Studies of Saturated Phenomena (Perspectives in Continental Philosophy)
3.Drs.Dusianto,MKM, The Miracle of Vegan, Qanita IKAPI,Jakarta
4.K.Bertens, Filsafat barat Kontemporer Prancis,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.2006.Hal.153
Jean Luc Marion, The Visible and the Revealed, Fordham University Press ,New York ,2008. Hal.107.
Drs.Dusianto,MKM, The Miracle of Vegan, Qanita IKAPI,Jakarta. Hal.170
Op.cit The Visible. Hal.109.
Jean Luc Marion , In Excess Studies of Saturated Phenomena (Perspectives in Continental Philosophy).Hal.82
Bdk. Bagi Merleau Ponty, tubuh mengetahui lebih banyak tentang dunia daripada kita sendiri. Artinya dalam hubungan subjek dengan dunia, tubuh ternyata memainkan peranan sebagai subjek. Tubuh adalah subjek persepsi. Dengan pendirian tentang tubuh-subjek ini Merleau Ponty yakin dapat mengatasi dualisme Descartes.
K.Bertens, Filsafat barat Kontemporer Prancis,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.2006.Hal.153
Adalah tindakan yang selalu memberikan atau menghasilkan efek dari apa yang sebelumnya dilakukan.