Mohon tunggu...
Ming Ming
Ming Ming Mohon Tunggu... Karyawati swasta -

Perempuan. 29tahun. Kadang lucu banget tp kadang bisa sedih mendadak :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kadang Kita Lupa menjadi Pendengar

25 Juli 2016   09:02 Diperbarui: 25 Juli 2016   09:39 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Weekend kemarin, saya dan beberapa teman bersepakat untuk ketemuan melepas rindu sambil bersilaturahmi. Setelah janjian lewat bbm, kami pun akhirnya bertemu di kampus tempat kami dulu kuliah, sekitar jam 11 siang. Pertemuan dibuka dengan salaman dan saling cipika cipika antara kami bertiga (biasaaa, kalo cewek kan gitu ya gak afdol rasanya kalo gak pakai ritual cipika cipiki). Sayang, waktu itu kegiatan kampus masih libur sehingga tidak ada kelas yang berlangsung, namun kami beruntung karena ada beberapa ex dosen kami yang kebetulan sedang menyelesaikan beberapa tugas di kampus, sehingga kami pun berkesempatan untuk saling bersalaman dan bertukar kabar sejenak.

Karena waktu itu sudah jam 12 lewat dan kartun-kartun di perut kami sudah menyanyi minta makan, maka kami memutuskan untuk melanjutkan pertemuan di sebuah rumah makan. Tentu saja, layaknya kawan yang sudah lama tidak bertemu (bahkan dengan salah satu teman tersebut saya sudah hampir 11 tahun tidak berjumpa), obrolan pun mengalir bak derasnya air hujan yang membasahi bumi, non stop. 

Sampai akhirnya saya menyadari sesuatu. Bukan sesuatu yang krusial, mungkin, tetapi sepanjang obrolan tersebut saya melihat bahwa kedua teman saya ini bercerita sungguh dengan semangat yang luar biasa sampai-sampai lupa bahwa mereka seperti bercerita kepada diri mereka sendiri, bukan kepada orang lain dan bukan sedang bersama dengan orang lain. 

Sehingga, seolah-olah mereka "saling berebut" menceritakan kisahnya masing-masing dan tidak mendengarkan satu sama lain. Saya sendiri memang tidak terlalu banyak bercerita waktu itu karena saya lebih banyak tertawa dan menimpali cerita mereka (ya iyalah kalau saya juga ikut heboh bercerita, kebayang siapa yg akan mendengarkan kisah kami? Sendok dan gelas doang, keuleeus... hahaha). Well, "kehebohan" mereka masih berlangsung dari cerita waktu kuliah dulu, menikah, melahirkan, saudara yang suka pinjam uang, dunia kerja yang sempat dijalani sebelum resign, mantan bos yang unik, sampai yang paling heboh adalah menceritakan tentang anak mereka masing-masing. 

Meskipun saya satu-satunya yang tidak punya anak diantara mereka, tapi saya memahami bahwa mungkin mereka sangat cinta sama anaknya sehingga segala hal yang dilakukan oleh sang anak perlu diceritakan kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun, hehehe (jangan protes Ming, sirik deh ah...). Disaat yang satu menceritakan anaknya yang suka main air hujan, teman saya yang kedua "membalas" dengan menceritakan bahwa anaknya sangat suka main game online sehingga sang Ibu menganggarkan ratusan ribu rupiah per bulan agar kuota internet dapat dipenuhi dengan lancar. 

Mereka benar-benar saling bercerita dengan berebut. Saya katakan berebut karena belum selesai teman yang satu menutup mulutnya maka teman yang kedua langsung menimpali dengan kisahnya sendiri, bahkan tanpa memberikan tanggapan atas cerita si teman.  Luar biasa "seru" deh pokoknya #sambuil ngedipin mata. 

Akhirnya, waktu terus bergulir dengan cepat, dan seperti lazimnya sebuah pertemuan yang hadir sepaket dengan perpisahan, kami pun saling berpamitan untuk saling kembali ke pasangan rumah masing-masing. Cipika cipika kembali terjadi tanpa dapat dielakkan dan berpisahlah kami dengan saling berjanji untuk kemudian hari meluangkan waktu lagi guna pertemuan berikutnya (Aamiin). Setibanya dirumah, saya pun menjadi berpikir tentang pertemuan tadi. Terlintas di benak saya bahwa kadangkala kita semua memiliki ego yang tidak dapat dibendung, ego untuk menjadi yang pertama, ego untuk menjadi pusat perhatian, dan ego untuk menjadi yang terbaik. Seolah, kita adalah yang paling ter ter dalam segala hal yang kita lakukan. 

Kita lupa bahwa seperti kita yang ingin selalu didengar, maka orang lain pun juga merasakan hal yang sama. Orang lain pun ingin diperhatikan, dan orang lain pun ingin ditanggapi ceritanya. namun kadang kita terlalu sibuk dengan diri kita sendiri, kita terlalu sibuk ingin mengabarkan bahwa kita sudah melakukan ini, bahwa kita sudah memiliki itu, bahwa kita sudah pergi kesana, bahwa kita sudah sekian kali kesini, dan bahwa kita sudah menjalani apa yang org lain belum jalani (padahhal kan gak tentu..hihihi).

Lalu, kalau semua orang seperti itu, siapa yang akan menjadi pendengar? Siapa yang dapat kita harapkan untuk bisa memberi masukan atau pendapat atas cerita yang sedang kita bagi? Bukankah setiap pertemuan, setiap diskusi, atau bahkan setiap obrolan ringan pun sejatinya harus membawa pelajaran bagi kita? Apapun itu, sekecil apapun itu, Mungkin, semua bisa menjadi pembicara yang baik, tetapi tidak semua mampu menjadi pendengar yang baik.

South Borneo, hampir mendekati akhir Juli yang indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun