Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Profesor Dr. Harjono, S.H., MCL. Angkat suara terkait polemic reklamasi yang saat ini dirundung politisasi. Profesor Dr. Harjono, S.H., MCL. Melihat, bahwa reklamasi adalah agenda pembangunan. Karena itu, pro kontra terkait reklamasi mesti dibicarakan bersama, agar agenda pembangunan tetap berjalan tanpa merugikan pihak lain.
Seperti kita ketahui, saat ini proyek pembangunan pantai utara Jakarta ini tersandung oleh gugatan sekelompok masyarakat. PTUN pun mengabulkan gugatan tersebut. Ketua Studi Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Administrasi Negara, Dian Puji Simatupang menilai Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait reklamasi Pulau G secara esensial masih berlaku meski dinyatakan batal oleh PTUN. Sebab, kewenangan pencabutan ada di tangan pembuat wewenang, dalam hal ini Ahok.
Namun, Dian menyarankan Ahok perlu mengambil langkah bijak dalam menanggapi putusan PTUN. Cara paling bijaksana menghadapi ini, yaitu melakukan sinkronisasi keputusan dengan gugatan kelompok nelayan. Demikian pendapat Dian dikutip dari Kompas.com dari acara diskusi di The Indonesian Institute, Jakarta, Kamis (9/6/2016).
Sementara Profesor Dr. Harjono, S.H., MCL. dalam konteks ini melihat reklamasi bertujuan untuk membangun Ibu Kota dengan melibatkan banyak pihak swasta. Hanya dengan cara menggandeng swasta, terobosa pembangunan bisa dilakukan. Meski demikian, pemimpin daerah mesti melihat sinkronisasi berbagai aturan agar tidak bertabrakan.
Pakar hukum administrasi negara ini berpandangan bahwa dalam membangun Jakarta selama ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Menurutnya perlu ada inovasi dari seorang pemimpin untuk menjalankan prosedur yang sudah ada. Salah satunya dengan menggandeng pihak swasta.
Karenanya, agenda reklamasi tidak boleh disetop. Yang harus dilakukan adalah mengakomodir gugatan dan keberatan pihak yang awalnya menentang reklamasi dan disinkronkan dengan berbagai aturan yang ada tanpa merugikan pihak manapun.
Bila reklamasi dihentikan, kerugian besar yang dituai. Bukan hanya merusak citra pemerintah di matas swasta karena ketidakpastian iklim bisnis, tapi juga kerugian pihak swasta yang telah mengelontorkan modal besar untuk proyek ini. Selain itu, impian melihat geliat pembangunan dan pengembangan ibu kota juga pupus. Kerugian lain, potensi penambahan luas lahan hunian jadi hilang begitu saja.
Dari hasil kalkulasi sederhana, dengan luas lahan 5.100 hektar, maka pemprov memperoleh kontribusi dalam bentuk aset senilai Rp 714 triliun rupiah. Kontribusi tersebut berdasarkan aturan 45% meruakan lahan hijau yang dikelola Pemprov, kontribusi tambahan 15% dari NJOP. Mengacu pada harga tanah yang disetimasi oleh Agung Podomoro Land sebesar Rp 22 juta sampai Rp 32 juta permeter persegi.
Angka Rp 714 Triliun tersebut, tentu sangat besar manfaatnya buat rakyat Jakarta, meskipun bukan dalam bentuk uang. Lahan hijau di Ibu Kota kian bertambah, dan kontribusi developer bisa dilakukan dengan membangun berbagai fasilitas publik yang dapat dinikmati masyarakat luas. Dalam konteks inilah, pandangan Profesor Dr. Harjono, S.H., MCL., sangat logis. Mengingat, nilai Rp 714 triliun sama dengan APD DKI selama 10,5 tahun. Fantastis.
Referensi 1 Kompas.com