Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, yang berarti busuk atau rusak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, korupsi memiliki pengertian "penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan dan sebagainya, untuk keuntungan pribadi atau orang lain." Tindakan ini juga mencemari jabatan publik yang sudah dimandatkan.
Saya mengutip kalimat dari Mahatma Gandhi "Bumi ini masih mampu memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak akan pernah mampu memenuhi keserakahan manusia."
Korupsi adalah sebuah tindakan yang merugikan negara yang diakibatkan oleh kecelekaan berpikir dari seorang pelaku tindakan korupsi atau disebut koruptur. Kenapa saya katakan itu akibat dari sebuah kecelakaan berpikir? Karena kalau mereka berpikir bagus atau berpikir dengan benar maka tidak akan mungkin mereka melakukan hal yang tidak bermoral itu, memakan yang bukan seharusnya menjadi santapan mereka, kerakusan dan ketidakpuasan dengan apa yang dimiliki atau apa yang telah didapat, serakah bukan?. Korupsi sudah menjadi tradisi yang tidak mengherankan.
Fenomena korupsi adalah sebuah fenomena yang hangat dibicarakan diberbagai media. Selain karena efek yang ditimbulkan, terungkapnya isu korupsi sebagai headline dimedia-media. Banyak pandangan bahwa praktek korupsi lahir dari akibat moral seseorang yang rendah sehingga memungkinkan praktek korupsi marak terjadi.
Ini sebuah masalah laten namun seperti hal biasa di Negeri tercinta ini. Praktik korupsi bisa menimpa siapa saja, mulai dari masyarakat biasa, karyawan swasta, elit politik, bahkan penegak hukum sekalipun.
Yang lebih banyak mendominasi keinginan untuk korupsi adalah faktor internal  yakni faktor manusia. Karena manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin. Akal atau muslihat manusia akan terdorong ketika melihat adanya peluang yang mendorong melakukan korupsi.
Mari kita coba memandang penyebab korupsi dari persepktif pekerjaan berkaitan dengan moralitas, karena untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk ekonomi tentunya pekerjaan menjadi unsur penting tercapainya kebutuhan ekonomi manusia.
Misalnya seseoarang termarjinalkan dari pekerjaan dalam artian bekerja hanya karena tuntutan hidup. Seharusnya pekerjaan dilakukan secara sepenuh hati, sekalipun dengan gajih yang kurang tetapi benar-benar menjiwai pekerjaan itu tersebut. Kalau pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan.Â
Semisal menjadi  anggota Dewan representatifnya dari rakyat yang benar-benar karena keterpanggilan hasrat untuk mempejuangkan hidup banyak orang bukan segelintir orang atau kepentingan partai politik yang mengusungnya. Tetapi karena pekerjaan adalah tindakan hakiki manusia, maka dengan memperalat pekerjaannya semata-mata demi tujuan kepentingan sendiri atau segelintir orang.
Persoalan semacam itu akan saya kaitkan dengan teori antara willingness dan upportunity (keinginan dan kesempatan). Tulisan Wijayanto dalam buku Korupsi  Mengorupsi Indonesia (2009) mencoba membangun teori korupsi dalam dua faktor itu.Â