Malam ini sama seperti biasanya.
Aku sendiri dan kamu entah dimana.
Aku tak tahu apa yang kamu lakukan sekarang dan begitu pula sebaliknya.
Kita semakin jauh. Mungkinkah kamu menyadarinya?
Pikiranku berputar kembali pada pembicaraan kita saat sore tadi. Kamu menghubungiku melalui handphone-mu dan kembali mengucapkan pernyataan maaf untuk ke sekian kalinya.
" Maaf, aku tidak bisa menemanimu kali ini, " ucapmu dengan nada menyesal.
" Lagi? " tanyaku agak kesal.
" Tapi aku benar-benar disibukkan dengan banyak kerjaan. Ini demi masa depan kita juga. Cobalah mengerti... "
" Kamu selalu sibuk. Bahkan untuk temani aku sebentar saja. Aku butuh kamu saat ini. Bukan aku yang seharusnya mengerti, tapi kamu, "
" Bukannya sudah sering kita seperti ini? Aku pikir kamu sudah terbiasa dan bisa menerima ini dari awal? Aku pikir kamu bisa memaklumiku,"
" Ya, aku memahamimu. Sangat memahamimu. Aku menerimamu apa adanya. Aku memaklumi kesibukanmu di luar sana. Tapi, pernahkah kamu merasakan bagaimana khawatirnya diriku saat kamu tidak ada di sisiku, saat kamu di luar sana? "
" Aku akan baik-baik saja. Tak usah khawatir, "
" Tapi, kamu sering sibuk seperti ini. Apakah tak ada waktu sedikit pun untukku? Untuk kita bersama, sebentar saja? "
" Aku kan selalu mengabarimu lewat sms atau telepon langsung "
" Ya, tapi sekarang sudah jarang, "
" Itu karena sekarang banyak kerjaan di kantor yang harus aku lakukan, "
" Selalu saja seperti itu alasannya. Sibuk..sibuk.. dan sibuk... "
" Kenapa sih kamu jadi seperti ini sekarang? Bukankah kamu juga sibuk? Tapi, aku tidak mengeluhkan
hal itu. Kamu cemburu kalau aku lebih banyak waktu di luar? Kamu khawatir kalau aku selingkuh dengan wanita lain? "
" Kenapa pertanyaannya seperti itu? "
" Ya, mungkin saja seperti itu. Percayalah, aku tidak macam-macam. Aku benar-benar bekerja. Demi masa depan kita, "
" Kalau begitu, buktikan kalau ucapanmu tadi memang benar, "
" Aku tidak bo..."
Klik.
Aku langsung memutuskan pembicaraan d ihandphone.
Ia masih berusaha menghubungiku kembali, tetapi langsung ku reject panggilannya.
Ku rebahkan tubuhku ke sofa dan menghela nafas. Ku pejamkan mata dan tak terasa air mata yang tadi ku tahan, akhirnya keluar juga. Deras.
Sampai kapan akan begini terus? Kapan ia akan mengerti kalau aku benar-benar membutuhkannya saat ini? tanyaku dalam hati.
Malam ini sama seperti biasanya.
Aku sendiri dan kamu entah dimana.
Aku tak tahu apa yang kamu lakukan sekarang dan begitu pula sebaliknya.
Kita semakin jauh. Mungkinkah kamu menyadarinya?
*Cerita ini adalah FIKSI dan sudah lama dibikinnya. Baru sekarang bisa dipublish.
_Ruang Sunyi, 28 November 2009_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H