Oleh: Eka Saripudin
1. “PERCOBAAN” DIKALANGAN PARA FUQAHA
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan melakukan melalui hukuman takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu. Para Fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah takzir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah takzir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman takzir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat . Pencuri misalnya apabila telah melubangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Apabila pencurian tersebut dapat berbagai-bagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah maka, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan ‘pencurian’, dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman takzir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur menjadi satu, yaitu pencurian.
Disini jelaslah kepada kita, mengapa para Fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai, dimana jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman takzir. Sungguhpun istilah “percobaan” tidak dikenakan kepada mereka, namun apa yang dimaksud dengan istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.
Pendirian syara’ tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup dari padanya hukum-hukum positif, sebab menurut syara’ setiap perbuatan yang tidak selesai disebut maksiat yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.
Siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan dijatuhi hukuman takzir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah dihukum. Misalnya pada KUHP RPA (Republik Persatuan Arab) hanya percobaan melakukan jarimah “jinayat” dan beberapa jarimah janhah saja yang dikenakan hukuman.
Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum .
Sesuai dengan pendirian dengan syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan tersebut termasuk kedalam pembunuhan yang disengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut hanya dapat dihukumi sebagai penganiayaan saja, dengan hukumannya yang khusus. Namun, apabila pembuat membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut maksiat, dan hukumannya adalah takzir.
2. FASE-FASE PELAKSANAAN
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, karena hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi pidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dapat dihukum.
a. Fase Pemikiran dan Perencanaan (Marhalahal Tafkir)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW., sebagai berikut:
ﺇﻦﺍﷲﺗﺟﺎﻮﺯﻷﻣﺗﻰﻋﻤﺎﻭﺴﻭﺴﺕﺃﻮﺤﺩﺛﺖﺒﻪﺃﻨﻔﺴﻬﺎﻣﺎﻠﻡﺘﻌﻣﻝﺒﻪﺃﻭﺘﻜﻟﻣﺕ
Artinya: “Tuhan mema’afkan ummatku dari apa yang dibisikan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya”.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada abad ke-18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum pada masa itu, niatan dan pemikiran dapat dihukum, kalau dapat dibuktikan. Juga, pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua.
Menurut KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana hukuman mati dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, pembunuhan berencana dihukum mati atau hukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun, dan karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun .
b. Fase Persiapan (Marhalah Al-Tahdhir)
Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli sejata untuk membunuh orang lain dan atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan cara membiusnya. Dalam contoh ini adalah dengan jalam membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya maksud yang hendak dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan maksiat, dan maksiat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan (hak masyarakat) dan hak manusia, sedang penyiapan alat-alat jarimah paling galibnya tidak berisi suatu kerugian nyata terhadap hak-hak tersebut. Kalau dianggap menyebabkan kerugian, maka anggapan ini masih bisa ditakwilkan, artinya masih bisa diragukan, sedang menurut aturan syari’at, seseorang tidak dapat diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
c. Fase Pelaksanaan (Marhalah Al Tanfidz)
Pada fase inilah perbuatan pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman takzir, dan selanjutnya dianggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari, dan membawanya keluar dan sebagainya.
Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu maksiat (salah) atau tidak.