Budaya Partisipasi; Model Yang Manakah Anda?
Tulisan ini merupakan lanjutan dari Budaya partisipasi; 5 Tipe Partisipator sebelumnya. Model yang manakah Anda? Dari kelima model partisipator yang saya tuturkan di atas. Kira-kira, peran apakah yang rutin Anda lakoni? Kalau saya pribadi, sudah sangat ahli dan menjadi pakarnya model kelima—pendoa—terkadang saya lengkapi dengan model kedua, suka memberi ide. Sementara keempat, ketiga dan pertama. Sesekali saya lakukan. Sementara itu, penjabaran kelima model di atas bukanlah sesuatu yang despotis (absolut). Akan tetapi, pecirian di atas, semata-mata berdasarkan pengalaman saya sahaja dalam melakoninya. Selain itu, penuturan setiap modelnya, merujuk kenyataan di lapangan. Dan saya ingin menegaskan. Kelima model partisipator di atas, dalam setiap panggung, selalu hadir kelimanya. Dan setiap pemeran—Anda juga saya—mempunyai kesempatan yang sama untuk memutuskan, apa lakon yang mau kita persembahkan? Oleh karena itu, ini berarti, pemutusan model partisipator pertama, kedua, ketiga, keempat atau kelima. Termasuk dalam ranah pilihan. Sehingga, bukan berarti seseorang itu hanya menjadi model partisipator pertama atau kedua. Tetapi, setiap orang sebenarnya mampu dan bisa membintangi sebagai keseluruhan model partisipator ini. Hal yang membedakan satu dan lain, karena faktor keputusan saja. Tersadarkan Kesadaran ini baru saya ketahui, setelah saya memegat untuk berpartisipasi sebagai relawan, pada kegiatan milist pengusaha yang saya ikuti. Dalam undangan bersifat ajakan kontribusi itu tertulis catatan di bawah. “Bagi Anda yang berniat berpartisipasi ide spektakuler sekedar sanggahan tanpa solusi, kami ucapkan terima kasih. Dan kami sangat menghargainya. Juga, untuk Anda yang menyatakan bersedia menjadi relawan, namun hanya membantu doa. Ribuan terima kasih untuk Anda. Sekarang ini, yang kami butuhkan relawan yang siap secara waktu, tenaga, fisik dan uang. Karena penyanggah dan pendoa, sudah waiting list”. Pengalaman ini sungguh membuka mata kesadaran saya. Dan membangunkan saya dari tidur. Saya terbangun dari tidur panjang kekeliruan berpikir kepantasan berpartisipasi. Sebab, mana ada hari ini orang yang tidak pernah mempunyai waktu? Sesibuk apapun orangnya, hakekatnya dia memiliki waktu luang. Kecuali ingin menyandangi diri sebagai orang sok sibuk. Apakah benar? Selanjutnya, ide juga demikian. Apakah ada orang yang bisa berpikir tidak mempunyai ide? Memang benar, ide itu ada yang berbobot dan kurang cocok. Namun, bagi saya, kepantasan pemikiran, merupakan ranah berbeda dengan berkontribusi. Uang dan tenagapun juga demikian. Masa iya tidak mempunyai uang Rp.1000,- pun? Dan sangat lucu juga, bila tidak mempunyai tenaga. Terkecuali sedang sakit. Apalagi berdoa, ini sudah jadi ahli tanpa harus ikut kursus sampai ke luar negeri. Cukup mengawali dengan kata “semoga” dan “mudah-mudahan”, kata pengikat selanjutnya, menjadi penggalan doa. Hal yang patut saya pertanyakan kepada diri saya sebenarnya, apakah saya mau? Itu saja fokusnya. Dan asbab manusiawi menjadi variable terikat dengan kamauan, sehingga pengaruhnya sangat erat—karena faktor perbandingan. Apa untungnya bagi saya? Virus anti sosialnya masih membadan dalam diri. Selayaknya, anti virus yang tepat dalam ruang ini adalah “apa kontribusi yang bisa saya persembahkan?”. Siapa partisipator terbaik? Kemudian, di antara kelima model parsipator tadi. Model partisipator manakah yang terbaik? Bagi saya, ini bukanlah adegan yang tepat menghargai terbaik dan menghukum terjelek. Apalagi mengalamatkan salah dan benar. Karena, sesuatu yang benar-salah, baik-buruk, terjadi bila berada pada tempatnya. Wajah lainnya—sesuai konteksnya masing-masing. Demikianpula dalam hal berpartisipasi. Sungguh menjadi baik—bila kita memutuskan menjadi partisipator sesuai kewajaran. Namun, kalau memang mempunyai waktu, tenaga, ide, uang dan doa. Alangkah sempurna sekaligus kita perankan. Begitupula sebaliknya. Seandainya bersamaan fragmen itu, waktu kita sangat padat, dan tenaga belum bisa kita berikan karena belum mungkin hadir. Pemikiranpun, terporsir seluruhnya untuk pekerjaan. Maka, usahakan uang dengan jumlah wajar patut kita berikan. Dan jangan sampai, berdoapun tidak bisa kita panjatkan. Sungguh, amat memprihatinkan bila ini terjadi. Dan paling memprihatinkan, orang yang merasa—lebih dari cukup—dengan kontribusi ide dan doanya. Padahal memiliki waktu, sehat fisiknya, uangnya siap untuk didermakan. Inilah wujud saya yang dahulu. Oleh karena itu, menentukan prioritas hidup, merupakan syarat utama memudahkan kita memutuskan, model partisipator seperti apa yang akan kita perankan? Ciganjur, Selasa 4 April 2012 Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H