Mohon tunggu...
Budi Waluyo
Budi Waluyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An IFPer & a Fulbrighter | An alumnus of Unib & University of Manchester, UK | A PhD student at Lehigh University, Penn, USA. Blog: sdsafadg.wordpress.com. Twitter @01_budi. PIN BBM: 51410A7E

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mencari 'Mental' Anies Baswedan dalam UN

21 Mei 2014   21:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400656834984653703

Ujian Nasional kembali menjadi topik hangat. Cerita-cerita tentang kecurangan, perdagangan kunci jawaban, sampai perjokian mulai menghiasi setiap sudut pemberitaan media. Kisah-kisah dramatis siswa bunuh diri dan stress mulai bermunculan dan diangkat. Argumen-argumen super canggih tentang ketidaksesuaian Ujian Nasional meluncur deras dari mulut-mulut pakar pendidikan yang menentang pelaksanaan Ujian Nasional. Bak seorang pendekar, mereka membokar ‘kebobrokan’ Ujian Nasional, mulai dari pertentangan dengan amanat undang-undang, ketidakmerataan pendidikan di Indonesia, sampai mengecam Ujian Nasional semakin ‘pembunuh’ karakter dan kreativitas siswa. Tentu saja, Kementerian Pendidikan Nasional yang mewakili Pemerintah menjadi bulan-bulanan.

Program-program televisi berlomba mengangkat topik perbincangan tentang Ujian Nasional. Pembawa acara dan penonton tertawa terbahak ketika ‘kebobrokan’ Ujian Nasional dibuka satu persatu. “Soal UN disegel dan dikawal polisi. Artinya, Pemerintah tidak percaya dengan guru-guru di sekolah. Kalau Pemerintah saja sudah tidak percaya dengan guru-guru di sekolah, lantas kenapa kita harus mempercayakan anak-anak kita pada guru-guru di sekolah untuk dididik? Hahaha…” Dan seterusnya. Dalih mereka untuk memberi masukkan pada Pemerintah, tapi tingkah mereka menunjukkan hal sebalikknya. Seakan mereka lupa kalau sistem pendidikan di negara ini bukanlah dibuat oleh orang yang lulusan SD, atau lulusan S1 seperti mereka yang sedang tertawa itu.

Ironisnya, semua ini terjadi setiap tahun di Indonesia, dan berulang-ulang.

Apa yang salah dengan UN?

Saya yakin, saat pertanyaan ini dilontarkan publik, misalnya melalui media sosial seperti Facebook atau Twitter akan banyak sekali jawaban yang diberikan. Prediksi saya, jawaban negatif atau yang menentang UN akan mendominasi.

Saya tidak ingin berdebat tentang hal-hal yang sudah ‘pasaran’. Lebih baik melihat satu cerita sederhana yang bisa menginspirasi dunia berpikir kita.

Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti acara Pre-Departure Orientation untuk penerima beasiswa Fulbright di Bali.Salah satu pembicara yang diundang adalah Bapak Anies Baswedan, sosok pemimpin yang diprediksi akan bersinar dalam sepuluh tahun ke depan menurut salah satu majalah Internasional. Peserta yang hadir adalah para pelaku pendidikan, meliputi petinggi-petinggi Fulbright sampai para penerima beasiswa Fulbright yang akan berangkat studi ke Amerika untuk jenjang S2, S3 dan program lainnya. Kehadiran Rektor Universitas Paramadina ini langsung menyita perhatian seisi ruangan.

[caption id="attachment_324831" align="aligncenter" width="448" caption="Foto Fulbrighters bersama Anies Baswedan"][/caption]

Beliau bercerita, menjadi penerima beasiswa Fulbright dan melanjutkan studi di Amerika adalah impiannya sejak memasuki bangku kuliah Sarjana. Semua persiapan dilakukannya dengan baik sejak kuliah. Setelah lulus, dia mengirim aplikasi beasiswa Fulbright. Beberapa bulan berlalu, satu surat dari Aminef perwakilan yang melaksanakan seleksi penerima beasiswa Fulbright datang kerumahnya. Tangannya bergetar ketika menerima surat itu. Dan semakin bergetar lagi saat dia mengetahui kalau isi surat itu adalah ‘your application is unsuccessful.’ Sebagai seseorang yang sudah lama memimpikan menjadi penerima beasiswa Fulbright, isi surat itu sangat menghancurkan hati dan perasaannya. Tapi, tahukah anda apa yang dilakukan Anies Baswedan setelah membaca surat itu? merobek surat, menginjak-nginjaknya, marah, memaki-maki panitia seleksi, stress, dan putus asa? Tidak.

Beliau pergi mencari wartel, dan menelpon kantor Aminef. Selang beberapa menit, ada suara seorang laki-laki yang mengangkat telpon yang akhirnya diketahui bernama Pak Piet salah satu Ketua program yang menyeleksi penerima beasiswa Fulbright . Percakapan pun dimulai.

Pak Anies: Halo, Pak. Saya Anies Baswedan, salah satu pelamar beasiswa Fulbright tahun ini.

Pak Piet: Iya.

Pak Anies: Saya ingin tahu alasannya kenapa saya tidak lulus seleksi. Karena kalau saya sudah tahu alasannya, saya akan perbaiki dan coba lagi tahun depan.

Pak Piet: Baik. Beri saya waktu 10 menit untuk memeriksa di Komputer.

Telpon ditutup dan Pak Anies menunggu selama 10 menit, kemudian menelpon kembali.

Pak Piet: Saya sudah cek filenya. Kamu tidak lulus karena jurusan yang kamu tuju tidak tersedia.

Pak Anies: Oh… Can I change?

Pak Piet: Umm.. Iya. Mau ganti dengan jurusan apa?

Pak Anies: Jurusan apa yang tersedia?

Pak Piet lalu menjelaskan beberapa jurusan yang menjadi proritas beasiswa Fulbright, dan Anies Baswedan memilih satu dari beberapa jurusan itu. Tak pernah terpikirkan oleh Pak Anies kalau keputusan untuk menelpon Aminef itu bisa merubah statusnya menjadi penerima beasiswa Fulbright.

Apa kaitannya dengan UN?

Hal yang selalu digembar-gemborkan dari UN adalah Pressure-nya; membuat siswa stress, sehingga tidak mampu berpikir dan menyerap ilmu dengan baik, akhirnya berdampak pada kegagalan. Tanpa kita sadari, ketika ini diwacanakan secara luas, mental seperti ini yang terbentuk pada siswa. Padahal tidak ada yang salah dengan ujian. Apa artinya belajar tanpa ada ujian? Ujian yang menunjukkan hasil belajar.

Anies Baswedan saat menerima surat keterangan tidak lulus beasiswa Fulbright mampu meresponnya dengan cara yang dewasa tanpa pemikiran buruk apapun. Respon seperti inilah yang seharusnya ditunjukkan para siswa ketika Ujian Nasional datang. Bukankah sudah belajar selama tiga tahun? Ditambah les dan bimbel. Apalagi yang kurang? Kenapa masih panik? Karena kedewasaan berpikir dan positive thinking, percaya dengan kemampuan sendiri mulai terkikis, salah satunya dibantu dengan pemberitaan-pemberitaan negatif tentang UN oleh media.

Dalam pidatonya, Anies Baswedan juga menekankan bahwa Indonesia ini kualitas sumber daya manusianya yang kurang, maka perlu sebanyak-banyaknya anak Indonesia sekolah ke luar negeri. Atmosfer studi diluar negeri jauh lebih ‘menekan’ dari Ujian Nasional. Semua jadwal teratur, telat mengumpulkan tugas, goodbye! Nilai tidak mencapai standar, gagal! Jika saat di UN saja siswa gagal merespon dengan baik, malah mencari cara untuk melakukan kecurangan, berarti bukan sistem UN yang salah. Maka, UN diadakan untuk menguji mental –mental siswa ini. Bila dalam ujian yang diawasi secara ketat banyak terjadi kecurangan, apatah lagi dalam ujian yang dilaksanakan secara individu disekolah. Kemungkinan kecurangan lebih besar bisa terjadi.

Ujian secara Nasional

Ujian Nasional bisa diartikan sebagai Ujian untuk bangsa Indonesia secara nasional di bidang pendidikan. Guru diuji keahliannya dalam mengajar. Siswa bersiap menghadapi ujian atas apa yang sudah dipelajarinya selama ini. Orang tua belajar mempercayakan masa depan anaknya ditangannya sendiri. Kemudian, pihak sekolah dan Pemerintah berusaha menjaga kejujuran dan kemurnian Ujian Nasional.

Ada yang tidak menerima sistem UN dan menggunakan filosofi sederetan hewan, seperti ikan, gajah, monyet dan lain-lain sedang antri ikut ujian, dimana ujiannya adalah memanjat pohon. Mereka mengatakan, yang lulus ujian sudah pasti monyet karena monyet pintar memanjat, dan gajah, ikan, dan hewan lainnya tidak akan lulus. Mereka lupa kalau siswa adalah manusia, bukan hewan. Artinya apa? Hewan hanya dibekali satu keahlian tertentu saja, tapi manusia bisa memiliki berbagai keahlian dengan akalnya. Manusia tidak memiliki sayap seperti burung, tapi dia mampu terbang lebih tinggi dari burung. Manusia tidak bernafas dengan insang, tapi dia mampu menyelami lautan lebih dalam dari yang bisa dilakukan oleh seekor ikan. Filosofi diatas bisa berlaku untuk menyatakan kalau setiap orang punya bakat dan kemampuan tersendiri, tetapi tidak berlaku untuk Ujian Nasional.

Amerika, India, Singapura dan negara-negara lainnya memberikan tes mata pelajaran IPA pada siswa-siswanya. Mereka punya data tentang tingkatan dan perkembangan nilai secara nasional. Walaupun masing-masing siswa punya bakat dan keahlian tertentu, ilmu dasar harus mereka lewati dahulu. Negara perlu memiliki standar tingkat kualitas pendidikan. Pemerintah Indonesia terus memperbaiki fasilitas-fasilitas belajar di daerah-daerah terpencil. Pelaksanaan Ujian Nasional harusnya dipandang sebagai pemacu bagi tiap daerah agar bisa sejajar untuk duduk secara nasional. Sampai kapanpun, kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah dan perkotaan akan selalu terjadi. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lain. Negara besar seperti Amerika pun menghadapi masalah ketidakmerataan pendidikan ini. Fokusnya adalah terus memperbaiki, dan Pemerintah memimpinnya dengan sistem standar pendidikan secara Nasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun