[caption id="attachment_378902" align="aligncenter" width="640" caption="(Foto: Pribadi)"][/caption]
Saat sedang menempuh perkuliahan Sarjana, salah satu dosen saya pernah berkata,” Bahasa Inggris itu hanya alat untuk berkomunikasi. Bukanlah sesuatu yang ‘hebat’ dan harus dibanggakan. Di luar negeri, kalian akan menemukan kalau orang-orang yang homeless pun bahasa Inggrisnya lebih lancar dari kalian.” Kalimat ini selalu terngiang di telinga saya sampai sekarang, terutama karena dahulu saya pernah mengatakan kalau alasan utama saya ingin ke luar negeri adalah ingin memperbaiki bahasa Inggris, agar bisa praktek berbicara langsung dengan penutur asli. Ternyata, setelah banyak diskusi dengan orang-orang yang ingin meraih beasiswa studi ke luar negeri, rata-rata memiliki alasan yang sama dengan saya sebelumnya.
Sayangnya, ketika kita studi di luar negeri, justru orang-orang yang di luar menganggap kita sudah fasih dalam menggunakan bahasa Inggris. Teman sekelas, satu kampus, atau pun yang ketemu di jalan, mereka tidak akan mengajarkan bahasa Inggris, langsung berbicara layaknya satu teman dengan teman lain bertemu; kita yang harus siap bisa berkomunikasi dan memahami mereka. Kalau terlalu banyak bingungnya, bicaranyabelepotan, orang-orang itu bakal berhenti bicara, suasana jadi kaku, kemudian percakapan beralih jadi satu atau dua kalimat. Begitu juga sewaktu di kelas, dosen yang mengajar menggunakan bahasa Inggris penuh, tanpa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Memang ada kelas dikhususkan untuk belajar bahasa Inggris, tapi jangan terlalu banyak berharap bisa memperbaiki bahasa Inggris jika hanya bergantung dengan dosen dan materi yang diberikannya. Diri sendiri harus berusaha keras mencari cara dan terus menerus memperbaiki kemampuan bahasa Inggris. Belajar dengan guru penutur asli belum tentu lebih baik dari belajar dengan guru-guru bahasa Inggris disekolahan Indonesia. Penutur asli sangat baik di speaking, listening, dan reading, namun tidak selalu lebih baik di bidang writing dan grammar, apalagi disaat bersinggungan dengan mengajarkan skil-skil ini pada orang-orang yang berasal dari negara lain. Setiap orang yang berasal dari negara yang berbeda mempunyai kesulitan tertentu dalam belajar bahasa Inggris dimana penutur asli mungkin tidak mengerti.
Sudah ke luar negeri bukan jaminan kalau bahasa Inggris orang tersebut sudah meningkat. Sulit dijelaskan, karena pertama kali yang dihadapai kebanyakan pelajar asing yang ke luar negeri, terutama untuk studi, adalah tekanan perasaan “Kenapa bahasa Inggris saya rasanya jelek sekali ya? Padahal di Indonesia dianggap paling mahir, skor TOEFL juga tinggi”. Situasi yang dihadapi setiap hari berubah, begitu juga dengan tipe-tipe orang yang diajak berbicara. Berbicara dengan dosen di kelas lebih mudah, daripada berkomunikasi dengan tukang perbaiki pipa pemanas dirumah; berbeda level pendidikan orang yang diajak bicara, biasanya semakin sulit memahami gaya berbicaranya. Belum lagi ditambah dengan memahami bahasa Inggris orang-orang yang berasal dari negara-negara yang sangat kuat pengaruh bahasa ibu, seperti Rusia, Jepang, dan Prancis.
Beberapa mahasiswa Indonesia malah ada yang ke luar negeri bukan kemampuan bahasa Inggrisnya yang meningkat, melainkan bahasa Jawa, disebabkan terlalu banyak berinteraksi dengan orang-orang Indonesia dari Jawa. Intensitas berkomunikasi dengan orang-orang asing di luar negeri bergantung dengan cara kita bergaul dan tidak selalu dalam 24 jam berinteraksi dengan menggunakan bahasa Inggris. Belum lagi, saat berkomunikasi sehari-hari, kosa kata dan kalimat yang digunakan tidak terlalu berbeda dari hari-hari lainnya. Bahasa Inggris yang digunakan di level standar. Susahnya, di waktu bertemu dengan situasi formal dan menuntut penjelasan menggunakan bahasa Inggris yang formal dan menggunakan kosa kata yang bervariasi, diri sendiri harus siap menghadapinya.
Bahasa Inggris harus ditempatkan kembali ke posisinya semula, seperti kata dosen saya sebelumnya, yaitu sebagai alat komunikasi. Gaya pengajaran di Indonesia menuntut siswa untuk mahir dalam menjawab soal bahasa Inggris. Siswa yang bahasa Inggrisnya mendapat nilai tinggi, belum tentu bisa berbicara dan menulis dengan baik menggunakan bahasa Inggris. Ini karena tujuan awalnya belajar bahasa Inggris bukan karena untuk menggunakannya sebagai alat komunikasi. Bahkan, saat menghadapi situasi dimana harus menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi, tidak jarang siswa malah gugup, takut, tidak percaya diri, dan lain sebagainya, yang berakhir pada kalimat ” Saya tidak bisa”.
Jadi, kalau ke luar negeri bukan jaminan kemampuan bahasa Inggris bisa meningkat dan disekolahan tujuan pembelajarannya lebih pada menjawab soal, bagaimana cara belajar bahasa Inggris yang bagus? Gunakan sebagai alat komunikasi dengan setiap hari selalu update dengan bacaan atau mendengar topik-topik yang dijelaskan dengan menggunakan bahasa Inggris. Tidak harus kursus dengan biaya yang selangit. Salah satu media pembelajaran yang bisa digunakan setiap hari untuk update bahasa Inggris kita adalah dengan menggunakan fasilitas follow, pertemanan, atau like di media-media sosial, seperti Facebook dan Twitter, atau aplikasi chatting, seperti Line dan Blackberry Messenger.
Input dari bahasa Inggris itu membaca dan mendengarkan dan outputnya adalah berbicara dan menulis. Kebanyakan orang terlalu fokus pada output, misalnya bagaimana biar saya bisa pandai berbicara bahasa inggris ya? atau saya mau belajar menulis bahasa Inggris dengan cepat. Tidak salah fokus langsung pada skil yang diinginkan, tapi jangan mengabaikan input yang harus terus menerus di update. Teko punya keterbatasan dalam mengisi gelas, sebanyak air yang tersedia di dalamnya. Saat teko kosong, mau jungkir balik menuangkannya, gelas tidak akan bisa terisi.
Saya sudah studi di Inggris dan sekarang di Amerika, tetapi tahu tidak apa yang selalu saya lakukan setiap hari? Setiap bangun tidur, selesai menunaikan shalat subuh, saya selalu membuka media sosial dan aplikasi chatting di handphone, hal yang saya sama juga dilakukan sebelum tidur. Bukan karena ingin segera membalas pesan, melainkan ingin membaca berita dan updates dari media-media ini. Di aplikasi Line misalnya, saya berteman dengan Wall Street Journal dan BBC, setiap hari dikirimi update berita dan artikel gratis di handphone. Bahasa Inggris yang digunakan dalam berita-berita ini bisa dibilang tidak terlalu sulit dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam artikel-artikel ilmiah. Setiap hari saya luangkan waktu membaca berita-berita ini, selain memahami berita yang disajikan, juga memperhatikan pola kalimat dan kosa kata yang digunakan. Setiap kali membaca ada saja kosa kata dan kalimat bagus yang bisa diambil, lalu saya terjemahkan, cek pengucapannya di google translate, kemudian mulai digunakan dalam menulis dan percakapan.
Media sosial dan aplikasi chatting yang menawarkan updates dari akun-akun berita berbahasa Inggris banyak tersedia dan gratis. Kita bisa dengan mudah membaca artikel dari the New York Times, The Guardian, BBC, WSJ, dan lain-lain. Tapi, kita lebih tertarik dengan membaca status teman daripada berita yang ada. Berita yang dibagi pun yang berbahasa Indonesia dengan sumber yang jelas-jelas berkata tidak bertanggung jawab dengan isi berita yang disajikan. Pelajar-pelajar yang sedang menempuh studi di luar negeri, seperti saya dan teman-teman yang lain, masih selalu menjaga update tiap hari, padahal sudah di luar negeri. Karena kalau berhenti saja membaca atau berkomunikasi dengan menggunakan abahasa Inggris selama dua atau tiga hari, bahasa Inggris yang digunakan akan terasa ‘kering’ dan kurang menarik.