[caption id="attachment_345680" align="aligncenter" width="556" caption="commons.wikimedia.org"][/caption]
Suara kicauan burung terus bersahutan kala sang fajar mulai datang, dan mentari mulai menampakkan diri. Mereka bertengger disela-sela cangka pohon dibalik rimbunnya dedaunan pohon Maple dan pohon-pohon besar lain disekitar rumahku, West Packer House. Kicauan mereka seakan pertanda berakhirnya waktu sahur dan dimulainya waktu berpuasa hari pertama di Bethlehem, Pennsylvania.
Minh, Fulbrighter asal Vietnam yang tinggal serumah denganku, mengajak keluar hari ini untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah. Tugas mata kuliah itu adalah mewancarai tujuh sampai delapan orang asli Amerika tentang definisi sukses bagi kehidupan mereka. Orang-orang yang diwawancarai haruslah mereka yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan Lehigh University tempat kami kuliah. Artinya, kami harus pergi exksplorasi ke jalan-jalan berburu orang Amerika yang sedang bersantai ria untuk diwawancarai.
Aku menjanjikan pergi jam empat sore pada Minh. Tapi, akhirnya molor sampai jam enam sore baru berangkat, karena aku ketiduran. Sepertinya kalau soal mengantuk di bulan puasa tidak ada bedanya antara di Amerika ataupun di Indonesia. Di musim panas, hari baru akan nampak gelap sekitar pukul sepuluh malam. Magrib saja pukul setengah sembilan. Kamipun berangkat, dan aku memanfaatkan ini sebagai cara untuk menghabiskan waktu sambil menunggu waktu berbuka puasa; ngabuburit dengan berburu nara sumber tentang sukses.
***
Perjalanan kami dimulai dari melewati West Packer Ave menuju 4th street. Tak ada rencana matang yang kami siapkan. Pokoknya, bila ada bule’ sedang duduk atau berdiri santai, langsung hampiri dan minta waktu untuk melakukan wawancara. Namun, kami harus ingat satu hal bahwa nara sumber yang diwawancarai haruslah orang asli Amerika. Sayangnya, di negara Liberty ini ternyata tidak sedikit ditemukan orang-orang Latin Amerika yang berbicara bahasa Spanyol. Kita bisa menemukan mereka disetiap sudut kota ataupun tempat kerja, mulai dari sopir bus, kasir supermarket, pelayan restoran, sampai pegawai bank. Sangat sulit membedakan mereka secara fisik. Cara mudah untuk mengenalinya hanyalah dengan mendengarnya bicara. Tentu saja tidak mungkin meninggalkan mereka begitu saja setelah menyapa ternyata mereka bukan orang asli Amerika. Kami putuskan untuk menjalaninya saja. Let’s see how it is going.
Setelah melewati Graduate House Office, terlihat hamparan parkiran mobil yang terisi beberapa buah. Suasana sepi. Musim panas, terutama hari minggu, orang Amerika biasanya menghabiskannya dengan berpergiran keluar untuk liburan atau dengan bersantai ria didalam rumah. Kami coba untuk menikmati saja hembusan udara sore musim panas ini dan tidak terlalu memikirkan hasil.
Ada seorang laki-laki sedang duduk disela-sela parkiran mobil sambil memegang handphone. Minh mengisyarakatkan untuk mencoba. Kami berjalan ke arah laki-laki berkaos oblong putih itu. Ketika langkah kami mulai semakin mendekat, laki-laki itu mengangkat telpon dan asyik berbincang. Ah, tak mungkin kami mengganggunya. Kami hanya bisa mengulum senyum dan terus melangkah melewati laki-laki itu. Untungnya, tidak jauh ada seorang laki-laki dewasa berjalan dengan menentang satu botol minuman dan makanan.
Definisi sukses pertama,
Sukses adalah ketika saya bisa berbuat hal yang bermanfaat untuk orang lain dan tidak menyakiti orang lain.
Laki-laki itu bernama George Assad, kelahiran Amerika berdarah Libanon. Dia bekerja sebagai Penasehat Keuangan, Militer, dan sekarang menyibukkan diri pada sebuah yayasan yang didirikannya. Dia bercerita tentang latar belakang dan pengalamannya dalam membantu bank-bank di Amerika selamat dari gerbang kebangkrutan. Tak lama kemudian dia beralih cerita tentang perkenalannya dengan salah satu Petinggi di negara Korea Selatan yang hobi mengoleksi film-film box office. Dia dan temannya lalu mendirikan salah satu perusahaan perfilman hanya untuk menarik perhatian petinggi negara Korea Selatan tersebut agar bisa mengajaknya bernegosiasi tentang perang yang mungkin bisa berkobar di negara Korea Selatan dan Korea Utara.
[caption id="attachment_331478" align="aligncenter" width="448" caption="Perbincanganku dengan George Assad"]
Setelah panjang lebar menjelaskan latar belakang kehidupannya, George mendefinisikan sukses sebagai perbuatan yang bermanfaat dan tidak menyakiti orang lain. Dia sendiri tidak bisa mengatakan apakah dirinya sudah sukses atau belum sampai nanti dia mati, dan biarlah orang lain yang akan mengingat semua perbuatannya selama hidup; inilah yang akan menjadi penentu apakah kehidupannya sukses atau tidak. Berkaitan dengan sukses di karir atau keluarga, George lebih memilih netral. Terkadang, ada diantara keluarga kita yang tidak menyukai kita dan ingin menjatuhkan kita. Dalam hal ini, tidak ada gunanya memperjuangkan saudara yang seperti itu. Lebih baik, fokus pada karir.
Aku dan Minh hanya bisa tersenyum terpana mendengar penjelasan George. Jujur dua paragraf diatas tak cukup untuk meringkas semua tentang latar belakang kehidupan dan semua penjelasannya tentang sukses. Tangkapan pertama yang luar biasa. Kamipun mengucapkan terima kasih pada George atas waktunya, dan mulai melanjutkan perjalanan mencari nara sumber kedua.
Definisi sukses kedua,
Success is you being able to push your own personal limit as far as you can go, instead of looking at external criteria.
Selesai wawancara dengan George, tak banyak orang yang bisa kami ajak wawancara. Beberapa orang menolak karena sedang sibuk belajar. Yang lainnya tidak bisa kami simpan sebagai data karena mereka orang Latin Amerika dan ada juga yang berasal dari Jerman.
Minh cukup berani mengambil resiko dengan percaya diri menghampiri orang-orang yang sedang bersantai ria, sampai bertemulah kami dengan Ketty. Seorang perempuan berambut pirang yang bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan pakaian. Dia juga sering memberikan Public Talks tentang IT, dimana awalnya tidak pernah terpikirkan olehnya sama sekali bisa memberikan hal seperti itu. Kemampuan memberikan Public Talks ini dianggapnya sebagai salah satu kesuksesan yang telah dicapainya karena dia mampu melewati batas kemampuan diri sebelumnya.
Definisi sukses ketiga,
Success is what you make.
Diseberang jalan tak jauh dari tempat Kelly, kami melihat ada seorang laki-laki tua yang sedang duduk diatas sebuah kursi roda sedang menikmati bunga-bunga yang yang tengah mekar disebuah halaman kecil dekat sebuah restoran.
Namanya Kezy, menjadi difabel sejak tahun 1995. Dulunya dia bekerja di sebuah stasiun bus di New York. Kemudian, sebuah penyakit kronis merenggut kemampuannya berjalan. Sejak itu dia menghabiskan harinya diatas kursi roda. Dia merupakan satu dari tujuh anak yang ada didalam keluarganya, Namun, dia tak lagi pernah bertemu dengan kakak dan adik-adiknya sekarang. Usianya mungkin sudah menginjak kepala tujuh, dan tubuhnya yang gendut membuat dirinya tambah sulit menjalani aktifitas sehari-hari.
[caption id="attachment_331479" align="aligncenter" width="512" caption="Kezy bersama kursi rodanya dan aku"]
Dia tak bisa menentukan apakah seseorang itu sukses atau tidak. Dia memberikan contoh, jika kamu melihat ada orang yang homeless serta mabuk disudut jalan sana, bukan berarti orang itu tidak sukses dimasa lalunya. Mereka ada yang dulu bekerja sebagai pengacara, pengusaha dan lain-lain. Dulu mereka sukses, tapi sekarang kita tidak bisa melihat kesuksesannya. Jadi, sukses bergantung dengan kondisi. Seperti saya, tidak ada hal lain yang paling saya inginkan selain bisa menemukan diri saya sehat saat bangun pagi. Dan kalian harus bisa memanfaatkan kesehatan dengan baik. Jangan menunggu sampai seusia saya baru kalian menyadari pentingnya kesehatan.
Hatiku tersentuh dengan penjelasan Kezy dan melihat kondisinya. Aku rasa dia hidup sendirian disini dengan bergantung pada bantuan pemerintah untuk bertahan hidup. Setiap orang tua di Amerika dipanggil dengan sebutan Senior Citizen dan biasanya mendapatkan beberapa bantuan dan kemudahan dari pemerintah, seperti misalnya mereka tidak perlu bayar ongkos jika naik bus tarnsportasi publik dan lain-lain.
Definisi sukses keempat,
Success is being happy. Do everything happily. Have children.
Walaupun masih tertegun dengan kondisi Kezy tadi, kami melanjutkan perjalanan menapaki Campus Square di Lehigh University. Campus Square merupakan salah satu spot tempat tongkrongan didaerah sini. Banyak terlihat orang duduk, bercengkrama, dan lain-lain. Kami berhati-hati memilih orang. Setelah melirik satu persatu kami memutuskan untuk meninggalkan Campus Square dan menuju daerah Fairchild Library sembari menuju jalan pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Sepertinya orang di Campus Square tidak mudah untuk diajak bicara, dan ada yang terlihat bukan asli orang Amerika.
Dalam perjalanan pulang inilah kami bertemu dengan Matt. Dia sedang duduk membaca buku diatas sebuah kursi kayu diatas hamparan rumput yang hijau. Kami melihat kearahnya, dan dia melemparkan sebuah senyuman. Sebuah pertanda keramahan yang tidak akan kami sia-siakan. Minh langsung menghampiri Matt dan meminta waktunya sebentar.
[caption id="attachment_331480" align="aligncenter" width="448" caption="Matt dengan senyuman bahagianya"]
Matt adalah seorang perencana keuangan dan penulis buku. Buku terbarunya berjudul Living a simple life, terbit satu tahun yang lalu. Dia berpandangan bahwa We don’t need to spend a lot of money to be happy. Money doesn’t buy happiness. Kita bisa bahagia dengan menikmati kebersamaan dan menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat kita. Ini lebih baik daripada mengejar hectic life, and die for career.
Bagi Matt, sukses didalam keluarga lebih penting daripada sukses di karir. Banyak orang Amerika yang meletakkan uang diatas segala-galanya. Kesehariannya dihabiskan untuk mengejar uang, dan uang. Mereka sibuk, dan siap mati untuk mengejar uang. Matt berpendapat, hal seperti ini tidak akan membuat manusia bahagia, melainkan susah dan terus merasa dalam masalah. Oleh sebab itu, dia menulis buku tentang bagaimana menjalani sebuah kehidupan yang sederhana dan bahagia.
Berbuka ala Pakistani
Pertemuan dengan Matt menutup ngabuburitku hari ini. Saat dalam perjalan kerumah, aku bertemu dengan Fayaz, mahasiswa asal Afghanistan. Dia sedang berjalan membawa makanan menuju rumah Qashim yang terletak diseberang rumahku. Qashim sebelumnya mengundang aku dan Fayaz untuk berbuka ditempatnya. Timingnya tepat sekali. Baru akan sampai dirumah, bertemu dengan Fayaz. Minh melanjutkan pulang kerumah, sedangkan aku bergabung dengan Fayaz menuju tempat tinggal Qashim.
Hanya menunggu waktu beberapa menit saja, waktu berbuka pun tiba. Qashim sudah menyiapkan beberapa makanan khas Pakistan, dan tentu saja berikut dengan roti khususnya, yaitu Naan. Seorang teman dari Taiwan ikut bergabung dengan kami berbuka. Disebuah ruang Dining room kami berempat menikmati hidangan khas Pakistan dari Qashim.
[caption id="attachment_331481" align="aligncenter" width="448" caption="Menu makanan yang disediakan Qashim"]
Begitu banyak definisi orang tentang sukses, tapi yang paling penting, aku sukses menunaikan puasa selama 16,5 jam hari ini.
Alhamdulillah…
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H