Mohon tunggu...
Budi Waluyo
Budi Waluyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An IFPer & a Fulbrighter | An alumnus of Unib & University of Manchester, UK | A PhD student at Lehigh University, Penn, USA. Blog: sdsafadg.wordpress.com. Twitter @01_budi. PIN BBM: 51410A7E

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nasehat Sang Professor

27 Juli 2014   14:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:03 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayup-sayup kudengar suara dering Handphone disisi kanan tempat tidur. Suara deringannya mengusik tidurku sore ini; kuhela nafas sedikit kesal. Namun, setelah mendengar sapaan suara diseberang sana saat dia memperkenalkan diri, rasa kantukku hilang seketika, tak tahu hilang kemana, dan mataku bulat terbuka lebar. Ingin rasanya aku segera berlari menuju kantornya waktu itu juga, seperti permintaannya di e-mail yang belum kubaca. Akhirnya, keinginan itu harus kutunda esok sore.

***



[caption id="attachment_335285" align="aligncenter" width="640" caption="Foto bersama Prof. Nelson Tansu, sumber: Koleksi Pribadi"][/caption]

Ketika mengikuti Pre-Departure Orientation (PDO) untuk Fulbright Grantees di Bali beberapa bulan lalu, seorang teman pernah memberitahu kalau ada seorang Professor asal Indonesia di universitas tempatku belajar nanti. Seusai PDO, segera kucari informasi tentang Professor itu di internet. Namanya Prof. Nelson Tansu kelahiran Sumatra Utara, menjadi Assistant Professor di usia 25 tahun. Waktu itu banyak media di Indonesia mengatakan dia sebagai Professor termuda asal Indonesia di Amerika, hingga Majalah Tempo pernah menobatkannya sebagai 1 dari 10 orang Indonesia yang berhasil memberikan dampak bagi Indonesia sebelum usia 45 tahun.

Sore ini, seusai mata kuliah terakhir, aku sedikit berlari menuju kantor tempat beliau kerja, Sinclair Lab. Untungnya, kantor beliau berada di Lower Campus tidak jauh dari tempatku kuliah. Kampus ini, Lehigh University, merupakan salah satu Kampus terluas di amerika dengan luas area 2500 acres. Andai saja kampus beliau berada di Mountain Top, sisi lain dari kampus ini, mungkin tidak bisa dicapai dalam waktu 15 menit yang tersisa sekarang sebelum pukul 5 sesuai janjiku untuk bertemu dengannya.

[caption id="attachment_335284" align="aligncenter" width="640" caption="Lehigh University, sumber: Koleksi Pribadi"]

1406418703376876947
1406418703376876947
[/caption]

Sesampai di Sinclair Lab, mataku segera disuguhkan berbagai klipping koran di Majalah Dinding (Mading) Lab. Satu koran memperlihatkan foto Prof. Nelson Tansu sedang menjelaskan sebuah mesin berkaitan dengan Nuklir. Di artikel lainnya, foto beliau dengan mahasiswa bimbingannya yang berhasil memenangkan sebuah Award di bidang LED. Perasaanku terasa tersergap sesuatu yang mencengangkan, hanya mataku yang bergerak kesana kemari membaca setiap detail berita di Mading itu.

Beberapa menit kemudian, perhatianku teralihkan. Satu sosok lelaki mudah berkulit putih dan berkaca mata berjalan keluar dari koridor bersama beberapa orang mahasiswa. Tangan kanannya dimasukkan di kantong celana seraya mengapit sebuah buku tipis ditangan kirinya. Gaya berjalannya persis seperti gaya berjalan kebanyakan anak muda Indonesia. Senyumnya membuat aku sedikit tergagap. Entahlah, aku belum bisa mencerna semua informasi tentang prestasi-prestasinya di Mading tadi sebegitu cepat. Dan ternyata, informasi di Mading itu belum apa-apa setelah berbincang lebih jauh dengan beliau.

Tanpa kusadari, sore ini aku mendapatkan Kultum sebelum berbuka puasa. Tapi, kali ini berbeda; bukan disampaikan oleh seorang Ustadz melainkan oleh seorang Professor, tidak selama tujuh menit, tetapi dua jam.

Pemuda Sumatra yang Mendunia

Diluar dugaan, aku tak perlu basa-basi untuk memulai percakapan dengan Pak Nelson, begitu dia suka dipanggil. Kurasa, dari awal sampai akhir perbincangan, dia menguasai 80% semua waktu pembicaraan kami. Dia bercerita dari tentang dirinya sampai kantor besar yang kini ditempati, Center for Photonics and Nanoelectronics (CPN), dimana dia yang menjadi Direktur, dengan posisi sebagai Chair Professor. Gaya bicaranya cepat, secepat jari tangannya menggerakkan slides di Tablet Windows terbaru diatas mejanya sebagai ilustrasi untukku.

Bidang keahlian Prof. Nelson Tansu adalah tentang Photonics and Nanoelectronics. Honestly, I have no idea what this is about. Tapi, kemudian sedikit demi sedikit kucoba memahami penjelasan Pak Nelson. Salah satu hasil penelitiannya tentang LED sudah dipatenkan.Beberapa perusahaan di bidang elektronik di Amerika dan Asia menggunakan teknologi dari dirinya untuk membuat lampu LED dan TV LED. Tidak hanya itu, sekitar mayoritas teknologi di lampu LED juga menggunakan teknologi yang berasal dari grup riset beliau.Selama 11 tahun bekerja di Lehigh University, berbagai Awards dan Honors sudah diraihnya.

Pak Nelson memulai petualangannya di Amerika setelah menyelesaikan sekolah di SMA Sutomo 1, Medan. Dia berangkat ke negeri Paman Sam melanjutkan kuliah S1 dan S3 di University of Wisconsin-Madison. Dengan masa tinggal yang lama di Amerika, beliau mendapatkan izin menjadi Permanent Resident di Amerika. Menurutnya, ketika diangkat menjadi Assistant Professor, hanya ada tiga orang Indonesia di Amerika yang berhasil mendapatkan posisi itu. Tetapi sekarang semakin banyak orang Indonesia yang juga berhasil mendapat posisi sebagai Assistant Professor di berbagai universitas yang bagus di Amerika Serikat. Hal ini adalah sangat bagus dan menunjukkan semakin bagus kualitas mahasiswa dan ilmuwan Indonesia di Amerika Serikat.

Beliau punya mimpi untuk menjejakkan dan memperkuat Footprints orang Indonesia di Amerika. Dia ingin membuka akses seluas-luasnya untuk orang Indonesia agar bisa studi di Amerika dengan pengalaman yang dimilikinya. Dia ingin melihat lebih banyak lagi orang Indonesia yang mendapatkan kesempatan mencapai pendidikan sampai S3 di Amerika Serikat. Semakin baiknya perkembangan kualitas generasi muda Indonesia akan dapat menaikkan kuantitas dan kualitas mahasiswa yang dapat direkrut ke Amerika Serikat. Di grup riset beliau, telah ada dua orang Indonesia yang dibimbing sampai selesai pendidikan S2 dan S3.

Pak Nelson ingin meniru cara Cina dahulu dalam menjejakkan Footprints di Amerika. Di awal tahun 1980-an, beberapa professor keturunan Cina di Amerika Serikat bekerja sama dengan pemerintah Cina punya program mengirimkan 20 orang Cina studi ke Amerika yang semuanya dibiayai dengan beasiswa dari Amerika Serikat. 20 orang ini merupakan orang-orang terpilih dan yang terbaik di Cina melalui seleksi yang sangat ketat. Selama sekitar 15 sampai 20 tahun program ini berjalan dengan baik. Akhirnya, ada sekitar 200-an orang Cina yang sukses menjadi Professor dan menempati posisi-posisi penting di instansi-instansi pendidikan Amerika di tahun 90-an sampai sekarang. Orang-orang inilah yang kemudian membuka pintu gerbang untuk orang-orang Cina lainnya masuk ke Amerika dengan beasiswa juga.

Ironi para Akademisi di Indonesia

Pak Nelson mengungkapkan bahwa gaji para pendidik di Indonesia terlalu kecil dibandingkan dengan tanggung jawab kerja yang dipikulnya. Gaji seorang anggota dewan di Indonesia bisa jauh lebih besar dari gaji seorang Professor di Indonesia. Makanya, banyak yang mau jadi anggota dewan ketimbang jadi Professor di Indonesia. Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Banyak hal di Indonesia yang perlu dipisahkan antara kepentingan politik dan pendidikan nasional. Pendidikan nasional harusnya dijaga supaya tidak berdampak dengan politik ataupun pemilu. Ternyata beliau mengikuti perkembangan Indonesia dari jauh.

Di Amerika, gaji seorang Presiden di Universitas bisa lebih besar dari gaji Presiden Amerika Serikat. Misalnya, gaji Presiden Barack Obama hanya sekitar setengah dari gaji Presiden di universitas di Amerika Serikat. Gaji Presiden Lehigh University adalah sekitar 2.5 kali lipat dari gaji Presiden Amerika Serikat. Gaji seorang Professor di Amerika hampir sama dengan gaji seorang Senator. Ini membuat keseimbangan antara posisi akademik dan politik di negera Liberty ini. Prof. Nelson memiliki pandangan bahwa pendidik di Indonesia harus diberikan kompensasi yang atraktif, sehingga akan banyak generasi muda yang terinspirasi untuk mencapai karir sebagai pendidik baik di tingkat pendidikan dasar sampai universitas. Sangat penting baik bangsa Indonesia untuk menghargai karir pendidik, sehingga mereka dapat memiliki taraf hidup yang bagus. Seorang professor di Indonesia dengan S3 haruslah dapat memiliki taraf hidup yang baik sehingga mereka dapat memberikan ilmu dan mencapai inovasi di bidang masing masing dengan semangat tinggi. Generasi muda pendidik adalah generasi yang mengembangkan generasi yang akan datang.

Harapan beliau, akan banyak generasi muda indonesia yang dapat melebihi dirinya, dan semua pihak harus terus bekerja giat untuk memperbaiki pendidikan and IPTEK di indonesia supaya generasi mendatang dapat melebihi generasi sekarang.

Nasehat Sang Professor

Biasanya, aku selalu menganggap setiap orang hebat yang kutemui adalah satu batu loncatan yang harus kulampaui nanti. Kali ini, sepertinya batu loncatan yang harus kulewati cukup tinggi. Entahlah, aku tak pernah terlalu yakin kalau hal yang sekarang terlihat mustahil akan tetap mustahil dalam beberapa tahun kedepan. Akupun meminta nasehat pada sang Professor aga bisa sukses menyelesaikan studi PhD di Amerika ini.

Beliau mengatakan,” There is no easy exit…” kamu harus gigih, tekun, mau bekerja keras, dan mengesampingkan semua hal yang bisa mengalihkan perhatianmu dari tujuan dan target yang ingin dicapai. Jangan pikir saya bisa mendapatkan semua ini dengan mudah tanpa kerja keras. Saya dulu berangkat kuliah jam 7 pagi dan pulang sampai jam 2 pagi setiap hari. Orang-orang bingung dan menganggap saya menderita tanpa menikmati liburan. Tapi, saya merasa sebaliknya, semua yang saya lakukan ini adalah hal yang saya sukai dan nikmati. Bila ingin sukses, kamu harus mendedikasikan hidupmu untuk sesuatu yang menjadi tujuanmu. Begitu juga dengan kuliah.

Pukul 8 malam percakapan kami berakhir. Aku pulang dibawah rintik-rintik hujan yang mengguyur kota Bethlehem. 30 menit lagi waktu berbuka puasa. Selama perjalanan pulang, pikiranku masih dipenuhi oleh semua hal yang dijelaskan oleh Pak Nelson. Kubiarkan tubuhku basah; basah oleh rintik hujan ini dan basah oleh pemikiran-pemikiran dan nasehat Sang Professor. Tunggu saja, kan kulampaui batu loncatan satu ini…

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun