Mohon tunggu...
Mince Hamzah
Mince Hamzah Mohon Tunggu... Novelis - advokad

Pengarang lahir di Padang 25 Oktober 1967, saat ini berfrofesi sebagai Advokat di Pekanbaru sejak tahun 1998 dan tercatat sebagai Alumi Doctor of Philosophy in Social Science di Unisel Selangor Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Minarti Ceria Negeri

30 Maret 2014   11:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CINTA KUPADA MUTIADA AKHIR

Minarti Ceria Negeri

Dinginnya malam membuat tulang-belulangku yangmulai rapuh menggigil, seakan tidak kuasa menahan hembusannya yang menusuk hingga ke sum sum, seolah tubuh ini kaku membeku bagai salju di kutub utara, namun aku tidak peduli. Dinginnya udara malam ini tidak sedingin jika dibandingkan dengan hatiku yang telah membeku karena cinta.

Entahmimpi, angin, imajinasi ataupun ilusi tapiintuisi ku memberitahu bahwa aku tidak sendiri di pantai ini. Ada sepasang mata, sesosok tubuh dan seraut wajah yang selalu mengawasi setiap gerak garik ku. Mulanya kukira perempuan dari kampung nelayan yang tengah menunggu suaminya pulang melaut atau mungkin juga penghuni pantai ini yang merasa terganggu karena kehadiranku di sini.Tapi bayangan itu selalu ada dan setia menemani sejak hampir beberapa tahun belakang ini.

Persetan! Siapapun dia, aku tidak peduli. Toh! Aku tidak mengenalnya, dan dia juga bukan siapa siapa ku. Mungkin hanya ilusiku yang kerap membayangkan Viena ada di sini. Tapi yang ada hanya riak gelombang dan riuh ombak di bibir pantai dan perempuan sundal itu dengan sepotong kayu membuat lukisan abstrak di atas pasir.

Tanpa sengaja ku toleh wajah untuk sekedar menyaksikan sebuah istana pasir yang dilukis oleh perempuan itu di pinggir pantai Sanur Bali. Jari jemari lentiknya begitu piawai memainkan gerakan sehingga tercipta sebuah istana yang indah dan megah. Dan istana tersebut buru-buru dibangunnya kembali begitu musnah diterjang ombak. Dia-diam hatiku mendesah mengapa dia begitu yakin dan tekun membangun sebuah istana di atas pasir yang ia tahu akan musnah dalam sekejab begitu ombak menerpa. Dan mengapa setiap kali istina itu musnah, setiap kali pula jari jemari lentik itu menciptakannya kembali. Demikian tabahnya perempuan itu membangun istananya yang diruntuhkan oleh gelombang tanpa pernah mengenal lelah dan tanpa bosan.

Tapi aku ..., mengapa akurapuh begini Tuhan...? mengapa aku tidak bisa tabah seperti perempuan dari kampung nelayan itu...? aku laki-laki seharusnya bisa lebih tegar . Tapi mengapa aku begitu merasakan sakit di sini..., di lubuk hati terdalam...? mengapa begitu sakit menahan rindu, menanti janji yang dikhianati oleh seorang kekasih...? laki-laki mana yang bisa kuat dan tabah setelah semua yang indah..., setelah semua yang manis, setelah semua cinta yang indah tertumpah di pantai ini tanpa sisa.

Di sini dulu, pertama kali kami bertemu. Di sini dulu pertama kali kami melakukan cinta terlarang..., di sini pula dulu kami berpisah dan bersumpah akan bertemu dan bersatu kembali. Masih segar dan jelas di telingaku ketika dengan genangan air mata dan bibir bergetar Viena berbisik:

“Tunggu aku Lau..., tunggu aku di sini, di pantai ini. Tujuh tahun lagi setelah aku menghantarkan anak-anakku ke gerbang keberhasilan. Aku pasti akan datang untuk jadi milik mu selamanya.”

Lalu kami sama-sama menangis, berpelukan, dalam rindu, dalam cumbu menjadi satu dan pantai ini saksi bisu.

Tapi itu dulu..., dulu sekali. Sekarang Viena telah berubah. Jangankan untuk kembali, namanyasaja tak pernah ku dengar. Viena seperti ditelan bumi dia pergi begitu saja , melupakan semua janji-janji setianya. Dan hingga hari ini, detik ini aku masih bertanya mengapa Viena tega mengkhianati cinta dan sumpahnya sendiri.

Tujuh tahun kedua telah kulewati dengan terus menanti dirinya di sini, tapi yang kudapat hanya sepi dan sunyi, serta dingin malam yang kian menenggelamkan tubuhku yang mulai renta. Gurat-gurat kecil telah mulai membayangi wajahku, dengan rambut yang sedikit memutih dan jambang ini sepertinya tidak lagi ingin untuk di cukur. Dengan tubuh yang mulai menua aku masih setia menunggunya, tapi memangViena tak pernah kembali.

Ku mencoba berlari sejauh mungkin untuk membuang sepi, membunuh rindu. Tapi lamunan membawa ku kembali ke masa lalu. Tiba-tiba di benakku telah terbentang sebuah ingatan tentang perkenalan lewat media facebook.Seorang wanita yang kutemui tanpa raga, tubuh, dan suara. Hanya chating melalui SMS.Viena Rosalinda begitulah ia sebut namanya di awal pertama berkenalan. Semenjak pertama ketemu lewat chatting facebook, aku sudah yakin bahwa aku telah jatuh cinta saat pertama kali memandang profilnya. Dan aku begitu percaya pada takdir bahwa suatu saat nanti , semua yang indah tentang Viena akan kumiliki seutuhnya.Matanya..., Bibirnya...., Tubuhnya, desahnya, nafasnya, suaranya dan bahkan hatinya. Pasti Viena akan jadi milik ku.

Dan mimpi itu menjadi nyata ketika 14 Februari 1998 tepatnya di hari valentine kami untuk pertama kali bertemu di sini di Pantai Sanur. Itulah saat-saat paling indah yang pernah aku rasakan dalam hidup, saat menghabiskan waktu bersama Viena, mendengar suaranya, Desahan nafasnya yang lembut di telingakuseakan membangkitkan aku dalam gairah cinta tanpa batas, dan kami terjerumus dalam lembah terlarang. Aku tak kuasa menghentikan rangsangan gairah yang telah membakar jiwa, bahkan tanpa bisa aku kendalikan gairah cinta telah memaksa aku merambah sumur terlarang milik Viena. Masih jelas terbayang deraian air mata penyesalan di wajahnya yang sendu.

“Lau..., why you do its for me? Why...?”

“aku melakukannya dengan cinta Vien. Karena aku mencintai kamu.”

“Tidak pantas Lau!”

“Mengapa Vien?”

“Aku tulus. Cinta ini suci.”

“I know. I know Lau, but...”

Viena memeluk erat tubuhku, membenamkan wajahnya di dadakku dan saat itu aku benar-benar menyesal telah melakukannya pada Viena.

“maafkan aku Vien. Maafkan aku. Realy I do love you.”

Vienna semakin membenamkan kepalanya dan menumpah tangis dalam pelukanku. Aku hanya bisa memeluk lembut bahunya dan mencium lembut ubun-ubun perempuan yang paling aku kasihi itu dengan sepenuh hati dan perasaan. Seakan melalui itu ingin kusampaikan betapa menyesalnya aku. Tapi demi Tuhan. Aku melakukannya dengan cinta, tulus dari lubuk hati terdalam. Dan itu baru aku rasakan untuk pertama kalinya dalam hidup ku.

“Lau.., aku juga punya andil kesalahan yang sama dengan kamu”

“tidak sayang. Maafkan diriku. Aku telah menodai cinta kita. Aku telah...”

“Tidak Lau! Aku juga punya andil kesalahan yang sama besarnya dengan kamu.”

Begitu tegar dan mantap Viena mengakui bahwa apa yang terjadi di pantai itu adalah gairah cinta yang lahir dari rasa yang ada dihati kami berdua.

“ya, Lau. Aku juga bersalah, karena membiarkan engkau, mereguknya dan itu seseungguhnya kulakukan juga karena cinta. Tapi ini salah Lau?! Ini Dosa! Dan kita tidak boleh mengulangi dosa ini lagi.”

“Viena! Cinta tidak pernah salah”

“Ya, Lau Cinta tidak pernah salah. Tapi waktu dan tempat yang membuat cinta itu menjadi salah.”

“Apakah salah aku mencintai kamu, dan kamu juga mencintai aku Vien...?”

“Aku isteri orang Lau! Aku telah terikat oleh sumpah perkawinan!”

“lalu mengapa kau membalas cinta aku Vien...?”

“aku tidak tahu Lau. Rasa itu tiba-tiba saja hadir, dan aku tak kuasa menolak pesona kamu.”

”Tapi Vien, aku tulus. Aku....”

“kamu tahu berapa usia aku sekarang Lau...?”

“45 tahun Vien”

“yeah dan kamu....? masih 30 tahun. Ada rentangan jarak 15 tahun yang memisahkan kita.”

“Kamu salah Viena! Cinta tidak mengenal ruang dan waktu bahkan cinta tidak peduli usia tua atau muda.”

“aku tidak pantas untuk kamu Lau. Aku lebih pantas menjadi ibu kamu.”

“aku tidak peduli! Stop! Dan berhenti untuk bilang aku tidak pantas untuk mu.”

“aku hanya menginginkan diri mu untuk menjadi isteri ku, sampai kapanpun aku akan menunggu kamu. Meski ketika waktu itu tiba kamu telah menjadi sangat tua dan renta.”

“oh, Lau. Maafkan aku...., maafkan aku. Aku..., aku..., aku tidak bisa.”

“mengapa Vien?”

“Karena aku masih punya tanggung jawab mengantarkan anak-anak ku kelvin dan Ronald ke jenjang keberhasilan, dan aku....”

“Kau ingin pergi meninggalkan aku Vien....? setelah apa yang kita lakukan di sini ?”

“Maafkan aku Lau, maafkan aku...”

“ aku terpaksa, lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita Lau ...?”

“apakamu bilang...? begitu mudahnya kamu melupakan apa yang telah terjadi Viena...?”

“maafkan aku lau.”

“Viena.. jika itu yang engkau pilih, pergi meninggalkan aku, setelah semua madu cinta kita reguk bersama, pergilah!”

“Lau, kamu marah?”

“Tidak! Aku hanya benci kepada diriku sendiri.”

“jika saja bisa kuputar waktu, kuingin terlahir 15 tahun lebih cepat .”

“Lau! Aku pergi untuk kembali. Percayalah aku pasti datang untuk mu. Tunggu aku tujuh tahun lagi di sini, aku akan kembali untuk jadi milik mu.”

Begitu nyata, begitu tegas dan begitu berani Viena mengambil keputusan bahwa cinta kami akan kami wujudkan menjadi realitas dalam sebuah ikatan suci perkawinan tujuh tahun mendatang. Kala itu gerimis yang turun membasahi Pantai Sanur telah menjadi sebuah kekuatan tekad dalam hati. Cinta adalah kekuatan dan anugerah Tuhanyang diwariskan kepada Adam dan hawa sebagai manusia pertama yang diturunkan dari langit karena dosanya.

Dan malam itu kami mengulangi dosa itu lagi, dengan sadar dan dengan keberanian tubuh kami berpagut menjadi satu bersama deraian air hujan di dalam sebuah dangau di Pantai Sanur kami telah melakukan cinta terlarang. Cahaya petir kala itu seolah menjadi cermin bagiku untuk melihat Viena lebih dekat...., biasan roman wajahnya yang memelas dan bibirnya yang pasrah dalam dekapanku , menjadikan aku lelaki paling sempurna malam itu, seolah di istana paling megah kami bertemu, bernaung di bawah langit yang berbintang, dalam guyuran hujan, cinta kami telah menjadi satu, dan tak ingin berpisah lagi.

Tapi itu dulu...., dulu sekali. Ketika aku masih menjadi perjaka lapuk, yang telah berusia 30 tahun tapi belum ada seorang gadispun yang bisa menarik perhatian untuk aku jadikan isteri. Entah mengapa begitu banyak perempuan yang kecewa karena aku tolak cintanya, tapi terhadap Viena, perempuan yang lebih pantas menjadi ibu ku..., aku jatuh cinta dan setengah mati tergila-gila padanya.

Pertama kali melihat wajahnya di profil facebook telah membuat aku jatuh cinta. Kendati telah berumur 45 tahun Viena masih kelihat cantik, segar, sexy dan mengairahkan layaknya perempuan yang masih berusia 30-an. Wajahnya yang natural, sifatnya yang baik hati dan ramah telah memenuhi kritera isteri idamanku. Tapi sayang ada laki-laki lain yang lebih berhak memiliki Viena.

Viena isteri orang dan telah mempunyai dua orang anak lelaki yang tengah berangkat remaja.

“Bapa.., mengapa rasa cinta ini datang tanpa bisa diprediksi dan tanpa interupsi.”

Untuk pertama kali tujuh tahun pertama setelah cinta terlarang aku datang mengaku dosa pada Pastor Santo, dan masih segar dalam ingatan wejangan dari Pastor santo:

Kita memohon Kekuatan… Dan Tuhan memberi kita kesulitan-kesulitan untuk membuat kita tegar.Kita memohon kebijakan… Dan Tuhan memberi kita berbagai persoalan Hidup untuk diselesaikan agar kita bertambah bijaksana.Kita memohon kemakmuran… Dan Tuhan memberi kita Otak dan Tenaga untuk dipergunakan sepenuhnya dalam mencapai kemakmuran.Kita memohon Keteguhan Hati… Dan Tuhan memberi Bencana dan Bahaya untuk diatasi.Kita memohon Cinta…Dan Tuhan memberi kita orang-orang bermasalah untuk diselamatkan dan dicintai. Nak.., Tuhan telah memberi kamu anugrah untuk memupuk kasih dan menyemai benih cinta. Cinta kamu dan Viena benar. Cinta tidak pernah salah anak ku, hanya waktu dan tempat serta kita sendiri yang membuat cinta itu menjadi salah. Jika kamu benar-benar tulus mencintai Viena, biarkan Viena hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya.”

“Pastor..., tapi saya sangat mencintainya...?”

“Saya tahu anak ku. Tapi cinta kamu berada pada waktu dan tempat yang salah.”

“tapi dia sudah berjanji untuk datang dan menjadi milik saya Pastor.”

Kata ku, mencoba membenarkan pertahanan yang mulai rapuh.

”Lau anak ku, apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak bolehdicerai beraikan oleh manusia. Viena bukan dilahirkan untuk mu dan kamu juga bukan ditakdirkan untuk jadi miliknya.”

“Mengapa pastor...? mengapa saya tidak boleh mencintai Viena...?”

“Kamu boleh mencintai Viena atau siapa saja, tapi merusak rumah tangga orang lain itu yang salah anak ku. Percayalah! Kita memang selalu melihat pelangi lebih indah di atas kepala orang lain, karena kita tidak pernah melihatnya di atas kepala kita sendiri.”

“apa yang harus saya lakukan pastor...?”

“serahkan pada takdir, dan berdoa untuk kebahagian Viena. Karena cinta sejati adalah ketika kita mampu membiarkan orang yang kita cinta pergi menemukan kebahagiaanya dan di sini kita bisa bertahan hidup meski dengan jiwa yang sakit karena terluka. Mencinta hingga terluka itu yang dilakukan Yesus di kayu salib anak ku...”

Dengan kesadaran mencita hingga terluka ku coba untuk melupakan Viena dan berhenti berharap untuk kedatangannya, tapi aku tidak bisa membunuh sepi dan rindu di hati ini. Jika rasa sepi dan rindu sudah tidak tertahankan lagi, aku pergi ke pantai ini dan menyepi berjam- jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Aku tidak perduli apa pun yang terjadi di sekitar ku, bahkan aku tidak lagi perduli pada penyakit yang mulai mengerogoti tubuh ku. Aku tidak perduli, yang tersisa hanyalah rasa rindu dan rindu yang kian menyiksa.

Dan peristiwa itu pun terjadi, karena saking tidak kuatnya menahan rindu aku jatuh sakit yang membuat kesadaran ku hilang. Bagai orang gila aku setiap hari duduk menunggu dipantai ini, menunggu Viena datang menunaikan janjinya kepada ku. Dan perempuan sundal itu yang belakangan kutahu namanya Surti telah menyelamatkan aku dari maut Pantai Sanur yang ingin menelan tubuhku yang pingsan pada suatu malam yang dingin dan berhujan, di pertengahan Februari tahun lalu. Surti yang dengan sabar dan penuh kasih sayang merawat aku. Dia bukan sundal tapi perempuan sederhana dari desa nelayan. Surti seorang janda tanpa anak yang suaminya mati di telan badai laut selatan. Seorang perempuan yang tidak cantik tapi berhati lembut dan putih seputih jubah biarawati. Seorang perempuan desa yang hidup bersama ayahnya yang mulai renta Pak Darmo. Lewat tangan dingin Pak Darmo kanker paruh-paruh yang aku derita sembuh tanpa melalui pengobatan medis. Semua berkat Surti dan ayahnya.

Setelah hampir 14 belas tahun menunggu rasanya aku tidak kuat lagi, aku harus menghentikan penantian ini, dan aku harus mengakhiri penderitaan ini. Setetes kebencian di dalam hatiPasti akan membuahkan penderitaan, tapi setetes cinta di dalam relung hati
akan membuahkan kebahagiaan sejati
. Berangkat dari pemikiran itu, akhirnya aku memutuskanmenerima pinangan Pak Darmo untuk menikahi Surti anaknya.

Mulanya sekedar rasa simpati dan sebagai balas jasa atas kebaikan mereka yang telah merawat dan menyelamatkan nyawaku, tapi siapa sangka pelan-pelanrasa cinta itu tida-tiba hadir di dalam hati. Ketulusan dan kesabaran Surti telah mampu mengusir bayangan Viena.

“maafkan aku Vien. Maafkan jika aku katakan kau tidak lagi ku kangeni.”

Hanya itu kata-kata yang mampu aku ucapkan kita akhirnyaViena datang memenuhi janjinya minggu lalu.

“ kamu sudah jauhberubah Lau?!”

“Kamu yang membuat aku berubah!”

“Maafkan aku.”

“Sudahlah! Tidak ada yang perlu dimaafkan.”

“Aku datang untuk mu, beri aku kesempatan sekali lagi. Lau...maafkan ....a..k...u...”

“Sudahlah Vien, lupakan semua tentang kita. Itu sudah lama berlalu.”

“Kamu masih membenci aku Lau”

“dahulu i ya, tapi sekarang tidak lagi”

“terima kasih Lau”

“Untuk apa?”

“Untuk maaf mu”

“Yah, pergilah! Tinggalkan aku”

“Kau mengusir aku Lau...?”

“Vien..., aku sudah bukan Laude yang dulu lagi. Laude mu yang dulu telah lama mati. Sejak sumpah dan janji mu kau lupakan sejak itu pula Laude mu mati, terkubur bersama cintanya.”

“Lau, kamu salah!”

“apa? Salah kamu bilang...?”

“ya. Kamu salah!”

“kamu yang telah bersumpah setia dan berjanji untuk kembali, dan kamu pula yang mengingkari.”

“Cukup Lau! Cukup! Aku sudah datang Lau. Tujuh tahun yang lalu aku sudah datang menepati janjiku, tapi kamu yang mengkhianati janji kita. Kamu yang tidak datang ke pantai itu dan menjumpai aku. Kamu tahu apa yang terjadi Lau...? yah, seorang perempuan bernama Bintang telah memporak porandakan semuanya.”

“Apa kamu bilang Vien...? Bintang...? Bintang datang menjumpai kamu di pantai Sanur delapan tahun yang lalu...”

“i ya Lau. Bintang. Perempuan yang mengaku tunangan kamu dan meminta aku untuk tahu diri dan pergi dari kehidupan kamu.”

“Apa yang dikatakan Bintang kepada kamu Vien...?”

“Bintang bercerita bahwa kamu dan dia saling mencinta. Kalian telah bertunangan sejak masih kecil, dijodohkan oleh orang tua, tepi semenjak pertemuan kita di facebook kamu jadi berubah. Dia juga bilang kalau kamu tidak pantas untuk ku, kamu masih muda dan masa depan kamu masih panjang, sedangkan aku....aku lebih pantas jadi ibu kamu.”

Baru kali itu aku melihat Viena menangis sejadi-jadinya, bahunya sampai terguncang hebat. Aku tidak berdaya, kurengkuh perempuan yang jujur hingga saat ini masih sangat aku cintai. Meski telah menjelang enam puluh, masih terlihat gurat-gurat kecantikan di wajahnya, dan aku tanpa sadar tanganku telah meraih Viena dalam pelukanku.

“Tuhan...” mengapa rasa ini masih ada untuknya....?”

Ternyata waktu tidak mampu menghapus kenangan tentang Viena. Perempuan ini sangat menderita, tubuhnya yang ringkih telah cukup memberitahu betapa menderitanya dirinya. Oh Tuhan! Jiwaku serasa sakit, sakit sekali. Aku ingin memeluknya..., memberikan sisa hidupku untuk membahagiakan dirinya, tapi Aku tidak boleh melukai Surti. Tidak! Perempuan itu telah menjadi matahari hidupku. Meski tidak ada janji dan kata-kata romantis yang diucapkan tapi dari sinar matanya..., dari tindakan dan gerak geriknya aku bisa merasakan betapa tulus dan sangat besar cintanya untuk ku. Aku tidak boleh melukai hati isteriku. Tuhan.., tolong aku, jauhkan aku dari rasa bimbang ini.

Maafkan akuVien, cinta kita telah berakhir. Aku tidak mungkin menerima kamu karena aku sudah beristeri....”

“Bintang?”

“tidak! Bukan Bintang!”

“Bintang kemana....?”

“Aku tidak pernah mencintainya. Memang kami sudah bertunangan sejak kecil. Tapi cinta tidak bisa di paksa kan Vien?”

“Lalu...”?”

“yeah! Kami putus. Dari seorang teman ku dengar Bintang telah menikah dengan Pejabat Daerah di Timor Leste dan menetap di sana.”

“Dan kamu....?”

“Aku akhirnya menikah dengan Surti, perempuan baik yang telah menjadi matahari hidupku. Surti telah memberikan kehidupan kedua bagiku pasca kepergian kamu.”

“dan kamu..., kamu....mencintai Surti...”

“sangat mencintai.! Maaf kan Vien. Kamu ingin aku jujur kan? Aku sangat mencintai isteriku.”

“Tidak apa Lau, aku mengerti.”

Viena termanggu manggu dalam keputusasaan, tapi kedewasaan dan kelembutan hatinya serta ketulusan cintanya pada Ku, telah membuat dia begitu tabah.

boleh tanya satu hal Lau...?”

“Apa Vien, tanyalah! Apa yang ingin kau tahu...?”

“Apakah kamu masih mencintai aku.....?”

Oh! Tuhan. Pertama kali dalam hidup aku harus berdusta! Aku harus membohongi hati dan perasaanku pada Viena.

“Maafkan aku Vien..., cinta kita telah lama usai.”

“Jawab aku Lau, Kamu masih cinta aku....?”

“Aku sayang kamu Viena, selalu dan selamanya.”

“cukup Lau.Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah keyakinan bahwa kita dicintai oleh orang yang kita cintai.”

Jawab Viena getir, dengan bibir bergetar Viena tersenyum pahit.

“maafkan aku Vien. Maafkan aku...”

“tidak ada yang perlu dimaafkan Lau. Datang dan perginya cinta bukanlah sebuah ukuran akan cinta yang tulus dan murni, karena cinta yang tulus dan murni adalah cinta yang bisa saling memberi dan disaat terluka tidak jadi benci.”

Begitu bening, begitu tulus Viena melontarkan kata-katanya, tidak ada kebencian dari nada suaranya, kecuali kesakitan yang coba disimpan rapat rapat dalam hatinya. Aku tahu hatinya terluka, tapi perempuan ini begitu tulus. Tuhan mengapa bukan perempuan ini yang Kau izinkan untuk aku milikki...?

Lau..., setelah bertemu dengan kamu, setelah menepati janjiku lima belas tahun silam, aku tidak lagi menyesali diri. Kini aku bisa pergi dengan tenang.”

“kamu mau kemana Vien...? kamu tidak bersama suami mu...”

”Mas Herman sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”

“oh, maaf! Aku tidak tahu.:

“ya, tidak apa Lau.”

“Lalu apa rencana Mu ke depan Vien...?”

“Aku akan pulang ke Menado Lau, mungkin aku akan mengabdikan diriku di biara Santo Petrus. Aku ingin menjadi biarawati...”

“Kau ingin menghukum diri kamu sendiri Viena...?”

Tuhan! Mengapaharus dia?! Mengapa harus dia yang kau pilih untuk terpanggil...? jangan barkan dia pergi Tuhan! Aku masih sangat mencintainya. Aku ingin menemaninya hingga akhir keabadian datang. Jangan ambil dia lagi dari ku Tuhan. Tapi suaraku hanya terhenti di tenggorokan, bahkan untuk sekedar menggenggam jemari Viena pun aku tidak sanggup. Yang ada hanya diam membisu, kaku, lidahku kelu, tubuhku lumpuh tak berdaya.

Aku hanya bisa menangis membiarkan Viena ku pergi dan aku kini benar-benar telah kehilangan cinta sejati Ku. Viena telah memilih jalannya sendiri tapi cinta ku padanya tidak pernah mati. Cinta itu tetap tumbuh dan hingga hari ini di saat putri pertama kami lahir, aku masih saja menyimpan cinta itu untukknya. Sebagai bukti ketulusan cinta itu kuabadikan namanya pada putri kamiVIENA ROSALINDA ANASTASYA PUTRI.

Sungguh aku tidak pernah menduga jika hari ini aku dipertemukan kembali dengan perempuan yang paling aku cintai dalam hidup, di sini, di altar gereja Paroki Haleluya, pada saat pembaptisan putri kami. Seorang biarawati cantik dan lembut mendatangi Viena anakku yang telah berusia 3 tahun:

“hallo cantik..., siapa namanya? Suster boleh dikasih tahu ngak...?”

“Viena custer”

Viena kecilku menjawab dengn lidahnya yang masih cadel. Aku yang menyaksikan dari jauh terkesiap dengan debaran jantung yang tidak karuan. Viena! Kubaca nama yang tertulis di dada kiri seragam putihnya . Yah tidak salah lagi. Dia Vienaku. Betapa cantik dan anggunnya Viena di balik jubah biarawatinya. Tuhan mengapa rasa itu masih ada di sini...?

Viena cantik, di sini dengan siapa....? mama dan papanya mana....? koq suster lihat dari tadi Viena main sendiri....?”

Mama Viena lagi cakit custel..., Mama istilahat di lumah. Kalau Papa..., Papa Viena ada di....”

“Selamat siang suster, apa kabar?”

“Lau!”

“Apa kabar Vien”

Aku tak kuasa menahan perasaan untuk tidak memeluknya, merengkuh kepalanya dan membiarkannya rebah di dadaku. Tapi Viena yang sekarang berdiri di hadapan ku sangat berbeda dengan Vienaku yang dulu. Suster VIENA ROSALINDA adalah seorang biarawati, ada jarak yang membatasi hingga hanya bisa menatap dengan penuh rindu pada bola matanya sembari menggenggam lembut jemarinya.

“Kamu bertambah cantik dengan seragam itu Vien...?”

Bisik ku kaku.

“Puji Tuhan, Aku telah menemukan kebahagianku di sini. Mana isteri kamu Lau...?tidak ikut serta...?”

Surti sedang menjalani terapi di rumah. Isteriku menderita kanker rahim stadium empat”

“Apa Lau, isteri kamu menderita kanker rahim....?”

“Yeah Vien, pasca melahirkan Viena. Aku terlambat mengetahuinya karena Surti merahasiakan penyakitnya dariku.”

“Kamu harus kuat dan tabah ya Lau, dari sini aku akan selalu berdoa untuk kesembuhan isteri kamu.”

Duh! Tuhan! Dia masih seperti dulu. Masih lembut, baik hati dan peduli terhadap semua orang. Mengapa hingga hari ini masih saja rasa itu ada di sini Tuhan? Jika seandainya aku bisa....

“Lau.., nafsu hanya akan memberikan kebahagiaan sesaat tapi cinta yang tulus dan sejati akan memberikan kebahagiaan selamanya.”

Tiba-tiba Viena menyadarkan aku dari keterpesonaan memandang wajahnya, dan menyadarkan aku dari hayalan.

Kadang yang terindah bukanlah yang terbaik, yang sempurna tak selalu menjanjikan kebahagiaan namun, jika kita dapat menerima kekurangan menjadi kelebihan itulah kesempurnaan yang sebenarnya.”

“maafkan saya suster, saya telah berbuat dosa. saya lupa menjaga, mata ,menjaga hati dan perasaan saya.”

Ya. mata itu cahaya dan hati..., jadikan hati permata. Saat bahagia merona tawa adalah warna dan senyum itu ibadah. Tapicinta adalah anugrah. Pulanglah Lau, temani Surti di saat-saat ini kehadiran kamu di sampingnya dapat membantu proses kesembuhannya. Pulanglah dengan damai Lau.”

“i ya Vien, eh. Suster. Saya akan pulang menemani isteri saya. Tapi sebelum saya pergi boleh saya minta satu hal dari anda....?”

“boleh Lau, mintalah.”

“Mau kah kamu memberi maaf untuk ku Vien...?”

“Lau..., memaafkan adalah kebaikan. Segala yang bersumber dari kebaikan dan bertujuan untuk kebaikan akan berujung kebahagiaan. Aku sudah sejak lama memaafkan kamu.Aku tidak pernah membenci kamu Lau. Percayalah, aku memilih menjadi biarawati agar aku diizinkan Tuhan untuk selalu mencintai kamu, tapi dengan cara dan jalan yang berbeda. Kamu mengerti Lau...?

“Vien.....,”

“Pergilah Lau, jumpai cinta mu, Surti adalah anugrah yang diberikan Tuhan untuk mu. Dan Viena kecilmu jangan sia-siakan permata hati kalian. Aku siap menjadi Ibu Baptis untuknya jika Kamu dan Surti tidak keberatan.”

“tidak Vien. Pasti. Kamu akan jadi Ibu Baptisnya. Surti juga menyukai kamu. Kami akan sangat bahagia bila suster bersedia menjadi Ibu Baptis bagi Viena.”

“Tentu Lau, dengan senang hati.”

“terima kasih suster.”

“sama sama Lau.”

Plong! Akhirnya beban itu terlepas sudah. Beban yang selama enam belas tahun ini memberati langkahku, perasaan bersalah karena telah menodai satu-satunya perempuan yang aku cintai dan yang paling aku hormati, perasaan benci karena telah dikhianati, dan perasaan bersalah karena pergi membiarkannya menjadi seorang biarawati. Tapi kini semuanya sudah berakhir bahagia. Memang kebahagian terbesar dalam hidup ini adalah keyakinan bahwa kita dicintaioleh orang yang kita cintai. Terima kasih suster, terima kasih Viena, Cintaku padamu tiada akhir.

Dan..., Ku tulis di saatKau Izinkan Aku menjadi Matahari hidup Mu. Menjelang akhir September 2013.

EVA MINARTI DANLY

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun