Mohon tunggu...
Cak Min
Cak Min Mohon Tunggu... -

Male, main interests include sciences, education, internet, sports (football and cycling) and about life in general. Currently living in Thailand.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Pendidikan Tinggi Kita Tertinggal

19 Mei 2012   09:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:06 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_177957" align="aligncenter" width="619" caption="Universitas 21 membuat peringkat Sistem Pendidikan Tinggi Nasional tahun 2012 (Sumber: Universitas 21)"][/caption] Ketiadaan sumberdaya, terutama dana, telah membuat pendidikan tinggi Indonesia tidak bisa menjalankan fungsinya secara maksimal dalam melakukan riset-riset untuk memajukan ekonomi bangsa dan mengejar ketinggalan dari negara tetangga. Dalam sebuah publikasi perbandingan Sistem Pendidikan Tinggi Nasional (SPTN) 48 negara baru-baru ini (2012), Indonesia menduduki peringkat ke-47, hanya sedikit lebih baik daripada India (48), namun pada tingkat ASEAN, Indonesia kalah dari Thailand (41), Malaysia (36) dan tentu saja, Singapura (11). Peringkat ini bukanlah peringkat hasil penilaian atas kualitas universitas seperti ranking Times Higher Education (THE), Shanghai Jiao Tong University Ranking dan yang sejenisnya, tapi penilaian atas kualitas Sistem Pendidikan Tinggi Nasional di sebuah negara. Peringkat SPTN tersebut dibuat oleh para periset Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research dari The University of Melbourne (Australia) atas sponsor dari jaringan kerjasama antar universitas bernama "UNIVERSITAS 21", di mana UniMelb adalah salah satu anggotanya. Negara yang dievaluasi memang hanya 48 dan Indonesia diikutkan dalam penilaian karena statusnya sebagai anggota negara G20. Awalnya, pihak UniMelb hanya mengevaluasi 50 negara terbaik dalam hal hasil riset, berdasarkan peringkat yang dikeluarkan oleh National Science Foundation Amerika Serikat pada tahun 2006-2007. Mereka kemudian memasukkan Hongkong, Indonesia dan Arab Saudi, namun Arab Saudi bersama Mesir, Pakistan, Serbia dan Tunisia akhirnya dikeluarkan dari penilaian karena ketiadaan data. Data yang diolah berasal dari data-data tahun 2005 hingga 2009. Ada empat kriteria yang dievaluasi, yaitu: sumberdaya (resources), lingkungan (environment), konektivitas (connectivity), dan keluaran (output) pendidikan tinggi. Berikut ini hasil evaluasi mereka: 1. Sumberdana berkaitan langsung dengan kualitas pengajaran dan riset karena memiliki lebih banyak dana berarti bisa mendapatkan pengajar dan periset dengan kualitas yang lebih baik, mampu melakukan riset-riset yang lebih berkualitas dan jumlah riset lebih banyak. Dana untuk Pendidikan Tinggi Nasional biasanya disediakan oleh pemerintah dan bisa pula berasal dari sumbangan pribadi dan pihak swasta. Kanada menempati peringkat teratas dalam urusan ketersediaan dana (100 poin), selanjutnya disusul oleh Swedia dan Denmark di posisi ke-2 & ke-3, lalu berturut-turut dari peringkat 4 hingga 10 meliputi: Amerika Serikat, Norwegia, Finlandia, Swiss, Singapura, Belanda dan Ukraina. Indonesia berada di posisi terakhir (15,8 poin), sedangkan Thailand di posisi ke-38 dan Malaysia berada di posisi ke-24. Bahkan dibandingkan dengan India yang populasi dan jumlah universitasnya lebih banyak pun, Indonesia masih kalah 7.1 poin (India peringkat ke-47 dengan 22.9 poin). 2. Lingkungan mencakup partisipasi wanita dalam kegiatan belajar-mengajar dan riset, keberadaan badan yang memonitor kegiatan pendidikan tinggi dan kualitas di sekitar regulasi dan policy. Indonesia lebih baik daripada beberapa negara Eropa seperti Hungaria, Italia, Kroasia dan Yunani; Iran, Turki dan India, namun tertinggal dari tetangga dekat seperti Thailand (31) dan Malaysia (24). 3. Konektivitas meliputi jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi dan kolaborasi dengan periset asing, dalam arti publikasi makalah bersama-sama. Indonesia menempati urutan ke-16, karena ada banyak periset Indonesia yang berkolaborasi dengan periset asing yang dibuktikan dengan menjadi "co-author"  dalam publikasi internasional (catatan: tidak jelas apakah sebagai penulis pertama atau kedua, ketiga dst). Sayangnya, memiliki peringkat rendah dalam poin ini tidak berarti jelek karena minimnya kolaborasi dengan pihak asing dapat menunjukkan bahwa periset dalam negeri sudah mandiri dan tak perlu bekerja sama dengan orang lain seperti di Amerika Serikat, Cina, Jepang dan Taiwan. 4. Keluaran mencakup jumlah dan kualitas publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh PT, banyaknya PT di sebuah negara yang berhasil masuk Shanghai Jiao Tong Top 500 Universities, jumlah pengangguran berijazah sarjana dibandingkan dengan yang berijazah sekolah menengah, kualitas riset PT terkemuka di negara tersebut dan jumlah staf periset per kepala populasi. Indonesia berada di peringkat 48, kalah dari Malaysia di peringkat 47 dan Thailand di peringkat 44. Masing-masing poin dari keempat kriteria tersebut kemudian diberi bobot berbeda untuk menghitung poin total yang digunakan dalam pemeringkatan akhir (gambar Overall Ranking). Kriteria output mendapatkan bobot 40%, sedangkan resources dan environment berbobot masing-masing 25% dan connectivity hanya 10%. Kriteria output wajar mendapatkan bobot paling besar karena di sinilah kualitas sebuah sistem akan terlihat. Tidak heran jika negara-negara yang kuat dalam pendidikan kemudian menempati urutan teratas. Sebanyak 8 negara yang berada di Top 10 kriteria output juga berada di Top 10 rangking total. [caption id="attachment_177958" align="aligncenter" width="480" caption="Overall ranking Sistem Pendidikan Tinggi Nasional tahun 2012"]

13374180212066465198
13374180212066465198
[/caption] Kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari peringkat Sistem Pendidikan Tinggi Nasional tahun 2012 ini? Yang paling jelas adalah bahwa sistem pendidikan tinggi kita tertinggal dari negara tetangga di ASEAN. Mungkin secara individu, beberapa Perguruan Tinggi Negeri kita terlihat lebih unggul daripada PT-PT di negara tetangga, namun berbicara sistem, kita kalah. Ketertinggalan ini dapat mengancam eksistensi kita di masa depan karena nanti kita akan bergantung pada hasil riset orang lain secara berkelanjutan atau menjadi pasar abadi tempat orang menjual teknologi mereka. Pendidikan Tinggi nasional jelas membutuhkan dana yang lebih besar untuk menggalakkan riset dan meningkatkan kualitas pengajaran sehingga nanti dapat berperan dalam memajukan ekonomi dan penguasaan teknologi tingkat tinggi. Selain dana, kita membutuhkan lebih banyak periset mandiri dengan kualitas riset yang juga lebih baik. Dana yang lebih besar, jumlah dan kualitas pengajar dan periset yang lebih baik nanti akan membuat output otomatis menjadi lebih baik. Referensi: U21 Rankings of National Higher Education Systems 2012 (10 May 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun