Semakin padam pijar mentari berseloroh. Mengetuk pintu hari yang sebentar lagi melipat terik. Bersama hingar gersik angin, ia bersenandung riang menyalami kaki langit. Kemudian aku menguncinya. Dalam ruang tertutup untuk kubuka kembali esok pagi.
Kulihat senja bermerah saga. Kulihat ia temukan temaram. Menguncup di ujung hari. Kemudian terus mengerucut di antara sela sela gemintang. Satu satu mulai bermunculan. Menahan diri berlepas landas sebelum waktunya kelam tiba. Aku merajuk.Â
Cepatlah menyembul. Jadikan langit bak taburan intan permata. Biarkan mereka mengerlip di hamparan sajadah malam.
Kini waktu tak hendak berkompromi. Melaun samar samar gulita rubuh di pelupuk. Aku pandangi ia di kekalnya yang hitam. Sampai kepada kokok ayam bersahutan, mengambilnya kembali dari kubangan kelam. Esok pagi, teruslah bergulir.
Sinaran semakin redup. Cahayanya semakin tertelungkup.
Aku memotretnya bersama kawanan kabut petang. Bersama belalang sembah yang menempel di dinding rahim ilalang. Senja mulai merangkak perlahan. Dada bidangnya menyaru saga.Â
26 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H