Di antara lembah dan sungai yang meliuk aku menghitung jarak. Ketika embun mulai turun. Dan rimis rinai menyapu lantai. Aku menghitung detak.
Pendakian yang tak sempurna. Terseyok menapaki jalan jalan panjang. Jejak langkah ini tersendat di celah bebatuan terjal. Kelokan tajam. Kita bernaung di bawah rindang pohon mangga.
Aku melihatmu damai dalam batas penglihatan. Nanar. Kau bersiul. Memanggil semesta. Alam menyapamu. Terdengar lamat lamat. Riuh suara daun daun berisik. Riuh suara suara angin berbisik. Riuh suara suara kucur air menghilir. Desau alam berdecak.
Lantas tak kusangka. Tak lama setelah itu. Nafasku tersengal. Asap asap mengepung. Mendedah ruang ruang di paru paruku. Bau belerang menusuki lubang hidungku. Kau hanya berlirih. Nikmati saja. Itu wangi wangian kawah ijen yang akan sulit kau temui di perkotaan.Â
Aku tersenyum. Patah. Masa bodoh dengan ucapanmu.Â
Kain tebal itu menutupi sebagian wajahku. Membiarkan mataku menjelajahi seisi rimba. Menelanjangi tiap inci ciptaan Tuhan. Indah tiada terkira.Â
Tak terasa mentari merangkak menepi. Telusuri sisa sisa asa yang melekat dikisah akhir tahun yang lalu. Kau dengan bunga bunga rumput. Bersama embun. Di antara bara api biru yang menyala.
12 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H