Tak ada yang tersisa selain rintik rintik hujan.
 Datang. Singgah. Sesaat tinggal dan mengasap.
Gemuruh guruh bersahutan. Diantara tebing tebing curam, awan menggantang.
Hujan  lebat berkelebat. Berlari angkuh. Tanpa tahu jati diri.
Dengar. Dengar suara suara itu.
Dengar. Dengar suara ricik air yang mulai berjatuhan.
 Sebentar lagi air bah memacu detak. Menggurita ribuan kali. Mengetuk ngetuk genting.
Dengkur suaranya menggema. Di ujung telinga kaki kakinya pecah. Jadilah bulir bulir bening.Â
Pyar... Pyar... pyar... pyar...
Kelabu itu kemudian mencacah ruang ruang angkasa.
Cakrawala lantas beringsut undur diri. Sembunyi di balik lekuk lekuk mega.
Adakah celah untuk matahari bersinar? Adakah cercah cahaya untuk terbangkan ruh ruh kehidupan?
Sekujur nalar. Dan selongsong hati sudah tersujud. Penerimaan.
Kenikmatan ragawi sudah ditunduh. Tak peduli peti peti mati menjadi petir. Abai.
Luaskan selembar hati ini dengan cahaya. Selapang dada ini menerima.
Tuhan telah mencipta dengan segala kesempurnaan.
Menjadi yang terbaik untuk Nya. Bukan di mata insan dunia.
Ciputat, 2 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H