Barangkali ini terik paling samar. Berserah kepada baranya. Di bawah lengkung awan awan. Berjibaku bersama harapan harapan. Melajulah....
Sementara poros bumi berputar. Sementara semesta berjalan. Melingkari alam. Meniti waktu. Mendekatkan jarak. Diantara sela sela jaman siapa kita. Debu tanpa daya. Debu tanpa sayap. Bukan siapa siapa.Â
Barangkali ini terik paling awam. Dimana langit runtuh. Tanpa belah. Awan awan mengguncang cakrawala tanpa tangisan.Â
Hei... , sadar. Kita ini calon makanan para cacing tanah. Suatu hari nanti nafas kita terhenti. Suatu hari nanti raga kita mati. Suatu hari nanti ruh kita berhenti. Kembali... kembalilah kepada Ilahi.
Sementara awan awan menyentuh terik. Bumi berputar pada porosnya. Bumi mengitari matahari. Awan awan menyentuh terik. Semesta mengitari orbit.Â
Yang paling jauh, ketika hati tak pulih dari lalai. Patah berantakan. Urusan dunia. Maka sedikit saja kemasi hati. Yang terjungkal. Tuhan itu Maha. Segala kebaikan untuk Nya. Kenapa melanggar ketentuan Nya.
Sementara. Saja. Hanya ruh kita inilah, peradaban paling kikir. Dan mudah terkunyah oleh ilusi. Kesemuan. Fatamorgana. Bayang bayang petaka. Muntahkan saja dengan nama Tuhan.
Sementara jalanan itu adalah tuju kita memapah matahari. Menangkapnya dengan sekali genggaman. Setangkup asa mari kita lapangkan.Â
Selanjutnya. Bekuk semua impian sesat. Cintai kedamaian. Jalani hidup dengan benar.
***
Rumah Hijau, 4 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H