Aku pergi.
Kuucap itu sekali lagi. Setengah berbisik di belakang telingamu.Â
Kau mengantarkanku sampai di depan gerbang pintu masuk stasiun. Untuk sebuah rasa yang lekat kau selipkan pesan untukku.Â
Kau akan baik baik saja. Tenanglah. Sampai di Manggarai, jangan lupa...
Kau tak melanjutkan ucapanmu. Tapi jelas antara kecemasan dan meyakinkan itu beda tipis. Seperti, aku merindukanmu.
Ketika segenap benak dan hati sempat tak percaya. Memalingkan cara terbaik untuk menepis retorikamu, justru itulah bentuk jawaban atas pertanyaan. Masihkah cinta itu ada? Bahkan disaat merasa kehilangan atau kasihan?! Tentu ini, ada yang ingin kuluruskan.
Jika kau pergi, sosokmu hilang dalam ruang binar mataku. Ada senyap menguliti bahagia itu. Kau pergi, Â lalu aku menunggu, lantas kau pergi lagi, untuk perih yang menyenangkan. Ini waktu, waktu yang sudah ditentukan. Karena akhirnya kau kembali. Lagi untuk kesekian.Â
Selalu titik temu yang sama. Jumpa denganmu. Kesahku selalu begitu.
Tak urung, punggung tanganmu kukecup takzim dan penuh hangat. Tapak tanganmu kujabat erat. Memandangimu sesaat. Pekat dengan cinta yang kuat. Kusemogakan.
Aku menulisi pesan ini untukmu.Â
Lekaslah sembuh. Untuk dia yang harus benar benar kau tinggalkan. Ada hakmu menikmati segala rasa ciptaan Tuhan tanpa melanggar Nya. Ada pun kewajibanmu untukku. Hatimu saja sudah cukup. Berikan saja kepadaku. Aku tak meminta yang lainnya.