Hai Daun. Tahukah kau, aku suka memandangi alam. Seribu satu alasan untuk melukiskan kecantikannya. Salah satunya, bunga bunga yang ada di taman.
Hai Daun. Tahukah kau, aku suka melintasi keindahan. Tidak perlu arti dan pemahaman. Keindahan serupa kubu kesakralan. Kearifan lokal Maha Karya Sang Pencipta.
Di pelupukku alam disuguhi oleh banyak warna. Lekak lekuk luas lorong jurang jeram tebing teduh sinar langit. Aku memandanginya takjub dan penuh kekaguman. Tidak ada kata lebih dari kata hebat. Sesederhana itu? Iya, sesederhana aku memandangi alam saat ini. Tanpa syarat, tanpa pengikat apapun. Bukankah ini kemerdekaan hakiki?
Tahukah kau, aku pun menyukai senja yang temaram. Sinarnya yang redup. Merah delimanya yang anggun. Dan warna tembaganya yang merah merona. Seolah kuncup kuncup bunga sedang bermekaran. Lautan pesisir menjadi jingga. Bukankah ini indah? Bukankah ini lukisan sempurna Sang Maha Pencipta?Â
Kau bilang tidak tahu?!Â
Tak mengapa... Karena kini aku sedang mengingati sesuatu. Yang terlupa beberapa tahun lalu. Sakura yang mempesona. Warna merah muda dengan bercak keputihan. Menawan dipandang mata. Elok rupa dan warnanya. Cantik dan indah kelopak kelopaknya.
Sayangnya ia hanya bisa bertahan sebentar saja. Bersemi hanya sesaat saja. Indahnya hanya dinikmati sekejap mata saja. Karena sakura, kelopaknya mudah sekali berguguran. Berjatuhan berupa onggokan kertas kertas origami. Yang bertumpuk. Dan siap melapuk.
Maka biar saja bunga yang tinggalnya tidaklah lama, kupandangi saja. Â Menatapnya dan sesekali berpeluk embunnya. Biarlah jika waktunya pergi, maka pergilah. Biarkan berdamai dengan tanah. Dengan akar akar pohon. Sakura.
Legoso, 1 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H