Hari ini ada rindu yang luluh. Meruntuh pada pipinya. Disehelai daun yang jatuh. Aku pun terduduk malu-malu. Kau diam membisu. Mengapa...?
Pada serona wajah kuyu, diam dalam satu kotak ruang tunggu. Mengapa kau sedemikian murung? Padahal hari-hari kemarin adalah cerita kita berdua, antara kau dan aku. Bertemu dalam kisah cinta, bersyadu syahdan di sekeping doa pada munajat yang kita panjatkan. Itu adalah rindu kita. Kepada malam gulita diterangi bintang, bulan. Tentang kisah kita. Bercumbu... Ah...
Sunyinya...
Kau menjelang di rebahku yang repih. Oleh letihnya hari kau genapi aku dengan makna cinta hakiki. Bagaiman bisa merasukiku sedemikian detilnya? Kau menjagaku dari banyak hasrat indahnya fana. Kau tak menduakanku pada malam-malam lengang atau pun hari dimana matahari berdiri, meraba dada yang panas oleh hingar bingar mata dunia. Bagaimana bisa kau membujukku sedemikian cantiknya? Hingga nafasku bebas bercengkrama. Dengan paras indah tutur katamu.
Sungguhku tak mampu mengelak demi satu nama itu. Kali ini aku terkulai lemas untuk sebuah perpisahan. Tak ada lagi kecupan hangat menyapaku. Tak ada lagi suara halus membisik di telingaku. Teruntukmu Ramadhan... kutuliskan hati yang memerah. Cinta yang melekat. Merekah di setiap waktunya. Ada kasih sayangnya. Namun seperti pagi yang ditinggalkan malam. Kemudian siang menjelang. Dan senja bertemu temaram. Kau pergi untuk waktu yang akan datang.Â
Dan aku menunggu. Untuk sebuah rindu dan cinta aku menunggu. Untukmu Ramadhan...Â
Â
Cathaleya Soffa
Ciputat, 24 Juni 2017
Â
Ini kutuliskan cinta pada sebuah bulan. Yang bukan hanya dipenuhi keindahan tapi kasih sayang, ampunan dan keberkahan ada di dalamnya. Hanya air mata tumpah berderai. Semoga ini bukan yang terakhir kalinya. Tahun depan pertemuanku dengannya dapat terjalin kembali. Semoga Allah Ta'ala ridho.