photo by: Alfonsus Lisnanto
***
Aku mengenal konsep pertumbuhan ke luar. Seperti pohon yang menyahabati waktu, begitulah aku ingin bertumbuh. Waktu tidak menjadikan pohon tua menjadi rapuh, justru membuatnya semakin teduh. Kuat, semakin kuat. Tidak melemah, tidak mendusta. Tubuhku menemuiku beberapa waktu yang lalu, dia bilang akan menerkam, menggeram dengan sangat keras. Tubuhku menjadi harimau pada lipatan pikiran, seperti agung bunga, tak terkecuali jika kamu mau menolaknya. Perlahan-lahan kekurangan berubah menjadi sandaran pada dinding, tak ada rupa, lelap bergembira. Tiba-tiba seseorang berteriak dari belakang, hai kawan! Semilir angin selalu setia. Mengusap lembut daun-daun basah di pohon tua. Hey, itu hidup sayang. Ada burung, ada bunga, ada buah. Bahkan kuntilanak pun dapat hidup di dahan pohon itu. Serupa masa lalu, masa kini dan masa depan. Serupa pagi, siang, lalu malam. Pohon tidak pernah menghakimi waktu, tidak pernah mengenal keluh. Hanya bertumbuh dalam diam. Menjadi tegar tanpa banyak drama. Aku menoleh, tak ada siapa-apa. Hanya desisan ular yang ingin melepaskan energi, sementara itu aku melihat tubuhku seperti akan mati, segera . Segera, begitu saja. Memasuki rak-rak yang lumpuh berisi ribuan sejarah, kebutuhan pesta, flower minds, melepaskan energi, bersinergi. Lalu aku mulai terdampar, sadar, dan terjaga. Aku bangkit, berlari kencang, tanpa menoleh ke belakang. Kepada laut aku ceritakan semuanya. Tentang mereka yang tidak bisa kembali, tentang dia yang akhirnya pergi. Kenapa enggan menunggu? Apa susahnya menahan linu? Sedikit, tidak akan lebih berat dari malam yang menjemput pagi. Tak ada kata lupakan. Tiba waktunya aku bergembira pada apa saja, pada ruang yang terbakar, yang tenggelam pada ingatan-ingatan ayat-ayat kitab suci, pesta pikiran, berat tertinggal di bawah sana. Menggigil, aku putar piringan hitam, melengking edith piaf dengan bunga-bunga, apakah ini pesta? Aku ingin tertinggal, aku ingin tinggal disini saja, aku tak mau melupakan apapun, aku tak mau melupakan dendam, aku tak mau melupakan kesakitan. Tak pernah peduli dengan alarm yang terus terngiang di telinga, seperti berbunyi : tinggalkan kemiskinan. Tinggalkan kesedihan, tinggalkan penderitaan, tinggalkan sakitmu. Bangkit, lalu hidupkan mesin rollercoaster, berteriaklah sekeras mungkin. Oh tentu saja , aku tidak mau begitu. Hidup, derita, dendam dan goncangan rollercoaster selalu menggetarkan jantungku. Aku tidak mencandu, aku tahu itu. Jadi aku tidak akan meninggalkan, bahkan melupakan. Aku sedang belajar percaya… Seharusnya yang sudah berlalu tidak bisa membuatku sedih. Semesta mampu menyimpan banyak cerita. Kapasitasnya lebih besar daripada spasi ganda yang mampu kusimpan dalam kepala. Maka, mengapa tidak kulempar saja semua kepadanya? *Śūnyatā, शून्यता (Sanskrit noun from the adj. śūnya: “zero, nothing”) Sunya berarti kosong. Kosong disini bukanlah nihilisme, melainkan sebaliknya suatu kepenuhan, Realitas yang mutlak atau realitas itu sendiri.
Karawaci - Solo, 2011
*** kolaborasoy bersama Wonky Tonky, Saksikan karya-karya FFK lainnya sebagaimana yang tertera pada link di sini peserta NO 46, Duet Fiktif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H