Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki dengan Sejuta Tanda Jasa

4 September 2016   13:56 Diperbarui: 4 September 2016   23:37 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" Saya sungguh-sungguh sangat heran dengan Pemerintah. Kok pejuang seperti Pak Liluk dibiarkan merana bak anjing kudisan? Dimana matahati petinggi negeri ini," ungkap Cagel dengan nada suara bersungut-sungut.

" Persis kawan. Pak Liluk adalah salah seorang pejuang yang ikut memerdekan bangsa ini. Tapi balasannya apa? Rumahnya pun ikut tergusur. Tak ada apologi dari pemerintah untuk beliau," sahut warga lainnya sembari menyaksikan aksi para petugas melkukan pembongkaran terhadap kawasan perumahan penduduk.

Dan hanya dalam waktu tak lebih dari satu jam perumahan penduduk yang padat dikawasan kumuh itu pun rata dengan tanah. Sementara suara tangisan terus bergemuruh sekencang suara gemuruh alat-alat berat yang terus menggeruduk rumah penduduk tanpa malu.

###

Disebuah warung kopi, seorang lelaki tua tampak lusuh. Beberapa petugas tampak menemaninya tanpa suara. Bajunya penuh dengan keringat yang menebarkan aroma tak sedap. Matanya masih tertuju kepada aksi istimewa alat-alat berat yang terus menggeruduk dan menyapu bersih bangunan rumah yang berjejer dikawasan padat penduduk itu.

" Kami diperintahkan pimpinan untuk membawa Bapak dari lokasi ini. Bapak akan diberikan sebuah rumah dikawasan yang layak dan jauh dari kebisingan Kota. Sangat layak untuk Bapak menikmati masa tua," kata seorang petugas dengan nada lembut.

Lelaki tua itu tak menjawab. Suaranya pun tidak berdesis. Bahkan amat tidak terdengar sama sekali. Mulutnya sangat tertutup rapat-rapat. Hanya matanya yang terus memandang rumah yang terus roboh dan roboh hingga rata dengan tanah. Kekecewaan melanda sekujur tubuh tuanya. Hal ini ditandai dengan degup jantungnya yang turun naik. 

Dan seluruh mata tiba-tiba tertuju kepadanya saat dirinya berlari ke arah penggusuran ketika alat berat hendak merobohkan sebuah bangunan rumah semi permanen. Dirinya berdiri persis didepan alat berat. Suasana menjadi hening. Suara alat berat pun mati.

" Langkahi mayat saya dulu sebelum kalian semua menghancurkan rumah itu,"teriaknya dengan sisa-sisa suara tuanya.

" Kalian semua memang tidak mengerti dengan sejarah. Kalian semua tidak paham sejarah. Kalian hanya mengerti dengan menindasan dan penindasan," teriaknya lagi.

" Pahamkah kalian semua, bahwa di rumah itu naskah proklamasi dibuat? Tahukah kalian kalau dirumah itu menjadi awal dari proklamasi," tanyanya dengan nada suara tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun