Semangat otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan UU NO 32 tentang pemerintah daerah adalah ladang pengabdian bagi Kepala Daerah terpilih untuk memakmurkan rayat yang memilihnya. Para Kepala Daerah mumpuni dan berpikir cerdas menjadikan jabatan itu sebagai sawah bagi dirinya untuk bercocok amal dan mewariskan sepetak sawah amalan untuk dikenang rakyatnya hingga ke liang kubur.Pengertian Otonomi daerah sendiri adalah hak kewenangan dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tak semua Kepala Daerah terpilih mampu menjawab keinginan rakyat yang memilihnya dengan keras diladang pengabdian untuk rakyatnya. Kepala Daerah ini justru menjadikan jabatan kepala Daerah sebagai ladang untuk mengekploitasi alam dan sumber daya daerah untuk ladang kekayaan pribadinya, keluarganya, kelompoknya, dan kolega,
Kepala Daerah ini seolah-olah mengasumsi bahwa dengan berstatus sebagai Kepala Daerah maka dirinya adalah penguasa daerah berikut sumber daya alamnya tanpa reserve. Kepala daerah bertipe ini menganggap Otonomi Daerah dalam perspektif lokal dengan mensimbolkan dirinya adalah RAJA daerah dan penguasa daerah.
Fenomena ini dapat dilihat diberbagai daerah otonomi baru. Para kepala Daerahnya bertindak seenak perut dan semau gue. UU, Peraturan dan berbagai aturan dari Pemerintah Pusat diasumsikannya sebagai lembaran-lembaran semata tanpa perlu ditindaklanjuti.
Analogi yang paling mudah kita lihat adalah saat kepala daerah mengamanahkan jabatan pejabat Esselon II kepada birokratnya tanpa memperhatikan pangkat, kompetensi, pengalaman dan track recordnya.
Tak ayal, birokrat yang diamanahkan sebagai esselon II bukanlah birokrat yang ahli akan bidang tugasnya. Baginya penunjukan dan pengangkatan birokrat di daerah dan wilayah kepemimpinannya adalah hal milik dirinya tanpa mampu diganggu gugat.
Dalam mengangkat pejabat esselon II Kepala daerah tipe RAJA KECIL ini tidak memperhatikan faktor kompetensi dan kwalitas sang birokrat. Yang paling urgensial bagi pemimpin bertipe RAJA KECIL daerah ini eselon II itu dekat dan paham dengan dirinya serta keluarganya.
Padahal dalam UU NO 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN ditegaskan tentang asas umum penyelenggara negara yang harus bersifat profesional, terbuka, dan adanya kepastian hukum.
Bahkan kadangkala para RAJA KECIL Daerah ini mengadopsi aksi kepemimpinan Gubernur Timur Jauh Hindia Belanda Nicholas Engelhard yang berkuasa pada era 1824 yang saat itu menjadikan jabatannya sebagai ladang untuk mencari dan menerima suap dari birokrat pribumi. Dimana pada era itu bagi birokrat pribumi yang ingin naik pangkat maka diwajibkan menyetor upeti.
Mengasumsikan jabatan Kepala Daerah sebagai penguasa daerah sungguh-sungguh membuat suatu daerah otonom tak pernah maju dan berkembang. Kesejahteraan bagi rakyat hanya ada dalam mimpi.
Tak heran kalau sebuah daerah otonom dipimpin oleh Kepala Daerah yang mengasumsikan dirinya sebagai RAJA KECIL daerah, maka akan terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerahnya tak pernah unggul dari daerah lain.
Menurut Pasal 25 UU No. 32 tahun 2004 Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang yaitu:
- Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
- Mengajukan rancangan Perda.
- Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD
- Menyusun dan mengajukan racangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
- Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.
- Mewakili daerahnya di dalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.