Aksi Nicholas Engerhard saat menjadi Gubernur Pantai Tmur pada tahun 1825 seakan menjadi embrio lahirnya petinggi negeri yang menyalahgunakan kewenangan secara masif. Saat memangku jabatan sebagai Gubernur, Engelhard menjadikan upeti sebagai elemen bagi kaum pribumi yang ingin naik pangkat dan jabatan.
Perilaku purba yang dipopulerkan Engelhard kini seakan menjadi trend dikalangan para pemimpin di daerah. Bukan rahasia umum lagi ada Kepala Daerah di negeri ini yang menjadikan upeti atau setoran sebagai katalisator bagi birokrat yang ingin memiliki jabatan.
Padahal beragam regulasi dan aturan tentang penyalahgunaan wewenang terus dibuat oleh Pemerintah dalam upaya meminimalisir terjadinya praktek KKN di negeri ini. UU NO 28 tahun 1999 adalah salah satunya. bahkan dalam upaya untuk mengikis habis praktek-praktek purba ini pemerintah mengeluarkan PP NO 19 tahun 2000 tentang Tim gabungan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Kejaksaan Agung, Kepolisian dan masyarakat.
Regulasi lain yang dikeluarkan Pemerintah untuk menekan aksi purba korupsi adalah dengan PP 71 tahun 2000 yang mengatur peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bukan hanya itu saja kegencaran dan keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi adalah ketika melahirkan lembaga KPK dan UU NO 31 tentang Tipikor.
Langkah antisipasi dan antisipasif boleh lahir. namun Pengaksi korupsi tetap lahir di bumi ini. Dan kini bukan hanya lahir dari rahim birokrasi saja, namun mulai merambah ke rahim Parpol. Sedikitnya beberapa ketua Partai telah dijebloskan ke bui karena terlibat aksi purba korupsi.
Korupsi bukan hanya merusak sendi bangsa semata namun korupsi memarginalkan dan memiskin rakyat sebagai penguasa negeri ini. Lebih jauh korupsi justru berpotensi meruntuhkan negara. Membubarkan negara.
Pada sisi lain kita pahami maraknya aksi purba korupsi tak terlepas dari minimalnya hukuman yang diberikan kepada para penggiat korupsi dan tidak memiliki efek jera yang kuat. Bahakan ada adagium yang bergema hukuman para koruptor ini yang merugikan negara milyaran rupiah hampir sama dengan hukuman orang maling ayam dan maling sandal. Hukuman mati harusnya jadi obat mujarab bagi pengiat aksi purba ini.
Disisi lain, penghargaan yang tinggi dari media terhadap pemberitaan para koruptor ini membuat para koruptor ini seakan menjadi rising star bak selebritis yang selalu disorot media seakan-akan para penggiat aksi purba ini memiliki prestasi besar bagi negara dan masyarakat.
Koruptor adalah musuh negara dan masyarakat. levelnya sama dengan kaum imprealisme yang bersifat menjajah. Oleh karena itu perang terhadap koruptor harusnya selalu dijadikan slogan dan icon bagi seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali.
Dan memerangi korupsi tidak bisa hanya dengan narasi yang berapi-api saja, namun perlu realita berupa aksi nyata. Pemberian hukuman yang maksimal dan memarginalkan hidup dan kehidupan mareka di negeri ini adalah variabel yang perlu disenandungkan terus tanpa henti sebagaimana kita menyenandungkan lagu Indonesia raya sebagai lagu kebangsaan. Koruptor, libas. Salam junjung Besaoh... (Rusmin)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI