Cerpen : Peluit Kejujuran
Peluit itu menempel lekat dibibir tuanya. Sesekali, matanya mendongak. Menatap langit yang berpayung awan tebal berwarna hitam gelap. Usai subuh, hujan terus menguyur bumi. Iramanya bak tempo nada musik. Kadang reda, kadang deras. Sesekali disertai angin dan suara petir yang menggelegar.Â
Untuk tiba di lokasi mangkalnya sebagai tukang parkir disebuah toko serba ada ini pun, Markudut harus rela tubuh tuanya di basahi hujan yang terus menetes ke bumi tanpa ragu. Tiba-tiba dari arah perutnya, terdengar suara nyanyian. Markudut merogoh kantongnya. Terlihat satu lembaran uang dua ribuan. Hanya itu yang didapatnya pagi ini dari para pengendara kendaraan yang memarkir kendaraannya di depan toko serba ada itu.Â
Mestinya dia dapat dua lembaran uang dua ribuan pagi ini. Seorang pengendaraan bermobil yang mengulurkan uang dari dalam mobilnya bernilai seratus ribu, tak mampu dikembalikannya.Â
Dan dengan jiwa yang ihlas, dia merelakan uang lembaran berwarna merah itu kembali ditarik pengendara bermobil itu yang langsung tancap gas meninggalkan asap di wajah tuanya dan tanpa mengucapkan terima kasih kepadanya yang hanya melongo menatap mobil itu.
Hujan yang datang membasahi bumi semenjak subuh tadi, membuat aktivitas di depan Toko serba ada itu sepi. Sesepi jiwa Markudut menatap halaman Toko serba ada itu yang kosong melompong dari para pembeli. Para pembeli tampaknya enggan untuk datang ke toko serba ada itu dengan kondisi hujan yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti.
Di seberang jalanan, di sebuah kedai kopi, tampak oleh mata tuanya, seseorang melambaikan tangannya sembari memanggil namanya. Markudut menatap ke arah lambaian itu. Terlihat olehnya, Mang Liluk, sahabatnya seorang tukang becak melambaikan tangannya sembari tersenyum ke arahnya.
" Markudut. Markudut, ngopi dulu," teriak Mang Liluk.
Dengan berlari pelan membelah hujan, Markudut menuju ke Kedai kopi itu. Saat tiba di Kedai Kopi, terlihat olehnya, mang Liluk sedang menyeruput kopi. Usai kopi diseruputnya dengan penuh penghayatan, sebatang rokok ditancapkannya dibibirnya. Seketika asap pun memenuhi kedai kopi.
" Ngopi dulu, Mar," ajak Mang Liluk.
" Ramai?," narasi Mang Liluk terus bersenandung.