Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Wanita yang Memangku Rembulan

18 September 2021   04:31 Diperbarui: 18 September 2021   05:00 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen : Wanita yang Memangku Rembulan

Sudah hampir dua tahun, wanita muda ini menghiasi malam-malam yang gemerlap bertabur bintang dilangit di jalanan utama kota. Posisi duduknya pun tak pernah berubah. Di belakang warung mie di pelataran toko-toko barang kelontongan. Sorot matanya tak berkedip memandangi jalanan yang bising ulah knalpot kendaraan yang saling bersahutan. 

Terkadang, ketika gairah malam hadir di syaraf biologis mudanya, dia ikut mobil yang menyapanya lewat sirene klakson mobil. Arungi malam nan indah menuju puncak kegelisahan. Pusat kesesatan duniawi. Mengubah malam yang penuh bintang gemintang sebagai rumah kesesatan. Menjadikan malam yang terang benderang sebagai rumah kegelapan. Namun tak setiap malam dia memperlakukan malam sebagai rumah kegelapan atau kesesatan. Hanya ketika mood shawatinya lagi menyapanya.

Sudah hampir dua tahun pula, wanita muda itu selalu pulang ke rumahnya, ketika azan subuh terdengar religius dari corong pengeras suara masjid. Saat pulang ke rumah pun, selalu berpapasan dengan para jemaah masjid yang bersegera menunaikan sholat Subuh. Anggukan kepala tanda hormat, selalu ia berikan kepada mareka. Dan tanpa sapa. Tanpa sapa sama sekali.

Sudah hampir dua tahun pula, wanita muda yang bernama Prisa selalu terbangun pada saat orang-orang mulai bergegas pulang kantor. Dan saat itu pula, rutinitas yang akan dilakoninya mulai bergerak dan menggeliat. Berganti busana yang dikolaborasikan dengan dandanan ala penghias malam. Usai para jemaah sholat Isya pulang dari masjid, Prisa segera melangkah pasti menuju tempatnya berekspresi untuk menghias malam jalanan kota. Memangku cahaya rembulan yang datang menghampiri tubuhnya.

Empat tahun silam, Prisa adalah seorang wanita muda penuh energi. Kepindahannya ke kota ini semata-mata berharap masa depan cerah. Berbekal nasihat sakral dari orangtua dan diiringi niat untuk membantu mengeskalasikan derajat keluarga, mendamparkannya di kota ini. Angan kesejahteraan pun terhampar membentang luas di otak ambisinya yang meninggi.

Berbekal surat sakti kerabatnya yang bekerja di Kantor Kabupaten, Prisa mulai berkarya meraih impian. Berbekal ijazah sekolah sekretaris di ibukota dan pribadi yang riang, membuat Prisa gampang membaur dan bergaul.

Pertemuannya dengan salah satu Kepala Kantor Cabang perusahaan susu yang dipanggil Pak Kakan dalam suatu acara promosi telah merubah 180 derajat arah kehidupannya. Pertemuan pertama itu telah membuatnya terhanyut dan terapung dalam keindahan gelombang kehidupan duniawi. Pertemuan kedua, ketiga, dan pertemuan-pertemuan berikutnya telah membuat keduanya saling berbagi cerita. Saling menebar angan-angan. Saling menjamu keinginan antara yang satu dengan yang satu. Saling menciptakan simbiose mutualisme .

Senyum nan menggoda diiringi dengan sikap kedewasaan dan kesederhanaan Pak Kakan telah membuat Prisa benar-benar terjatuh dalam pelukan impian dunia yang tak terperikan. Pak Kakan yang dikenal para kolega sebagai penganut moralitas tinggi telah membuat Prisa jatuh dalam mimpi-mimpi hidup nan mengangkasa.
Kendati sempat ditentang kerabatnya, Prisa maju tak gentar melawan arus kodrati.

"Apa yang kamu harapkan dari seorang pria manula yang pelit dan kikir itu?" tanya kerabatnya penuh keheranan.

"Dan kamu jangan mimpi akan harta-harta itu. Semuanya milik keluarganya. Milik anak-anaknya," sambung kerabatnya lagi.

"Kami tahu siapa laki-laki itu. Kami tahu watak dan karakternya. Kami sudah berabad-abad berkumpul. Kami sudah sangat hapal dengan tingkah lakunya," teriak Ibu Gosip, kerabat Prisa dengan suara meninggi penuh emosional.

"Kamu harus ingat kehormatan keluarga kita. Kita adalah keluarga baik-baik. Keluarga terhormat. Keluarga terhormat," sahut kerabat yang lain dengan nada pekikan.

Prisa diam seribu bahasa. Membisu. Tak menjawab. Bungkam. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Tak satu katapun meluncur dari bibirnya.

Kegundahan dan kegelisahan Pak Kakan  atas riak gelombang kehidupannya membuat Prisa merasa iba. Kata-kata dan diksi yang terlontar dari mulut bau Pak Kakan telah memabukkan pikiran alam sadar Prisa yang cerdas dan bernas. 

Membutakan matahatinya yang putih bersih. Kecerdasannya tak mampu halau raungan rangkaian kata-kata puitis Pak Kakan. Prisa pun terjatuh. Tergolek dalam buaian. Terbuai mimpi-mimpi. Larut dalam gelombang angan-angan.

Suatu malam ketika bulan purnama, malam yang penuh dengan bintang gemintang itu telah merusakkan sendi-sendi etika kehidupan Prisa dan Pak Kakan sebagai manusia. 

Malam yang bermandikan taburan cahaya indah itu telah meluluhlantakkan naluri keduanya. Malam yang penuh dengan kerupawanan itu telah membuat Prisa dan Pak Kakan lupa. Lupa akan etika kehidupan. Lupa akan norma-norma agama. Lupa akan moralitas. Lupa akan status diri mareka. Lupa akan nasihat para orangtua. Lupa akan segalanya. Hanya  kesejatian mimpi yang membuat keduanya bersatu padu menatap jantannya malam yang  bertaburkan cahaya keindahan.

Lolongan mengerikan dari  anjing malam yang tak bertuan menjadi saksi bisu malam kesesatan itu. Lenguhan dengus kucing hutan pun menjadi saksi malam hitam pekat itu.
"Aku akan segera ke dusun. Ketemu orangtuamu. Aku ingin kita segera bersama menatap kehidupan ini," ujar Pak Kakan dengan nada kalimat penuh tanggungjawab.
"Terimakasih, Pak," sahut Prisa dengan kegembiraan tak terperikan. 

Empat puluh hari usai peristiwa malam jalang itu, adalah hari yang  penuh tragedi bagi Prisa. Sebuah bencana besar datang dan menghampiri dirinya. Takkan pernah terlupakan dalam memori otaknya. Kedatangan seorang wanita cantik berkulit putih ke rumahnya telah memusnahkan asa. Memusnahkan harapan hidupnya yang sedang menyala-nyala bak api unggun. Menyesali malam yang penuh kesesatan itu. Menyesali malam yang bertabur kegelapan itu. Menyesali apa yang telah terlakukan.
"Saya hanya ingin katakan pada saudari. Jauhi ayah anak-anak saya. Masih banyak pria muda di dunia ini. Bermartabatlah kita sebagai wanita. Jaga harga dirimu," ujar wanita berkulit putih yang ternyata istri Pak Kakan.

Prisa kaget. Terdiam. Jantungnya seakan-akan mau copot mendengar celotehan itu. Linangan airmata bersalah menetes penuhi ubin-ubin rumah. Dunia pun seakan-akan runtuh. Hendak kiamat. Caci maki dan sumpah serapah terus dihujamkan di ulu hatinya dari mulut para kerabat. Beragam gelar pun terteriakkan dari mulut-mulut berbisa. Julukan hitam pun terpatri dari sekitar tanpa mampu tertahan.
Dan Prisa tak mampu menahan gempuran hujatan bernada hitam pekat yang terus berdesing bak peluru yang dilontarkan tak habis-habis.

Malam itu, jam didinding rumah kontrakan Prisa yang terletak di ujung gang telah menunjukkan angka delapan. Prisa pun telah bersiap-siap untuk berekspresi dan berganti dunia. Ketukan pintu membuatnya membatalkan niat untuk berganti baju.
"Siapa?" Tanya Prisa sambil bergegas menuju pintu depan.
"Saya. Pak RT," jawab seseorang dari luar. 

Pintu pun terbuka. Tampak Pak RT didampingi dua hansip berdiri di depan pintu rumah.
"Ada apa ya, Pak RT," tanya Prisa penuh keheranan.
"Anu, Mbak Prisa. Di depan gang tergolek seorang lelaki dalam keadaan yang menyedihkan. Dan nama Mbak Prisa  berkali-kali disebutnya. Apakah Mbak  kenal? Atau barangkali masih punya ikatan keluarga," jelas Pak RT penuh wibawa.
"Siapa ya? Tahu namanya, Pak," tanya Prisa lagi.
"Wah, saya tidak tahu. Tapi, bagaimana kalau kita ke sana untuk melihatnya. Barangkali Mbak kenal dan tahu dengan orang itu. Dan siapa tahu pula, lelaki yang tergeletak itu masih ada ikatan keluarga dengan Mbak," ajak Pak RT.

Ajakan Pak RT langsung diangguki Prisa. Dengan langkah penuh kepastian, Prisa menuju mulut gang. Tampak keramaian orang memadat. Beberapa petugas keamanan RT tampak sibuk mengamankan area dimana seseorang pria setengah baya itu tergolek. Saat menembus kerumunan manusia, Prisa kaget setengah mati. Jantungnya mau copot.  Prisa tahu dan amat kenal dengan pria yang terkapar itu.
"Pak Kakan," jeritnya saat melihat pria itu. 

Yang dipanggilpun menoleh. Menatap tajam Prisa. Seakan-akan terpatri kegembiraan yang tak terperikan. Airmata pun mengalir dari kedua kelopak mata Pak Kakan. Senyumnya pun masih tetap menggoda dan menggoda.
"Maafkan aku," ujar Pak Kakan terbata-bata dan lirih. 

Seiring dengan itu, kepalanya pun terkulai. Detak napasnya berhenti. Suara religius Innalillahi Wainnalilalhi Rojiun pun bergemuruh dari mulut para warga.

Toboali, 18 September 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun