Cerpen : Duka Sang Penyinta
Cahaya rembulan memucat. Kerlap kerlip bintang di langit pun bersembunyi di balik awan gelap. Langit kusut masai. Suara desahan seorang wanita muda hiasi malam. Rambutnya tergerai. Hujan deras yang membanjiri bumi lelapkan para penghuni. Mareka asyik berselimut hindari rasa dingin yang datang menyerang.
Dikejauhan malam, sebuah gubug di pematang sawah terlihat bergoyang. Angin malam yang kencang seolah-olah ingin merobohkan gubug itu. Didalamnya dua manusia berbeda kelamin terus susuri malam dengan gejolak manusia dewasa. Hangatkan dinginnya malam dengan saling bersekutu. Malam itu mareka jadikan sebagai simbol saling mencintai. Â Gubuk tua itu mareka jadikan sebagai rumah kegelapan. Mareka saling memberi jiwa raga dengan disertai desahan. Rintihan terus bergemuruh sebagai ornamen malam. Dan hujan pun reda usai membanjiri bumi.
" Aku akan bertanggungjawab," ujar lelaki itu sambil menyalakan sebatang rokok.
 Keringat masih mengucuri sekujur badannya. Terlihat rasa kelelahan dalam wajahnya. Seolah-olah usai kerja keras.
" Kamu memang harus bertanggungjawab," ujar wanita itu sambil berbenah.Â
Langit semakin gelap. Dengus kucing hutan menambah kegairahan malam yang makin mempesona.
Lelaki muda itu seolah tak percaya. Bagaikan dihantam petir yang mulai merambah dunia. Rasa malunya sebagai lelaki mengaliri sekujur tubuhnya. Keringat mengucur ditubuhnya. Rasa tanggungjawab yang dia katakan malam itu sebagai lelaki sejati ditolak.
" Mohon maaf. Kami sekeluarga anda. Anda tak layak menyunting putri kami," ujar seorang lelaki setengah baya saat lelaki itu menyampaikan rasa tanggungjawabnya.
" Kami telah menjalin raga,Pak. Kami telah menuntaskan hasrat sebagai manusia. Dan sebagai lelaki saya bertanggungjawab," ujar lelaki itu.