Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Sunyi

29 Agustus 2021   11:02 Diperbarui: 29 Agustus 2021   12:46 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu melangkah dengan kaki yang berselimutkan sekaratnya jiwa. Langkahnya sempoyongan. Terkadang kehilangan arah menuju rumahnya. Sementara malam makin menjauh cahaya indahnya. Suara kokok ayam mulai terdengar meriuhkan alam. 

Beberapakali lelaki itu harus menabrak orang yang mulai membaktikan diri sebagai umat kepada Allah SWT,Sang Maha Pencipta dengan mendatangi masjid seiring dengan bergemanya suara azan subuh dari pengeras suara masjid yang makin mereligiuskan alam.

Dan brakkk. 

Suara pintu rumah terbuka dengan tendangan kakinya yang makin melemah. Tubuhnya langsung tersungkur diatas kasur tipis yang warnanya sangat bervariasi bak pelangi yang datang disenja hari. Lelaki itu pun terlelap dalam mimpinya yang tak pernah datang menghampirinya. Sebuah angan yang hanya ada dalam angannya semata.

Lelaki itu biasanya terbangun dari mimpinya yang kusut masai ketika orang-orang mulai bergegas ke masjid seiring terdengar suara azan Magrib yang mereligiuskan alam. 

Kopi kadang tanpa gula menemani awal kehidupannya. Kadang sebatang rokok ikut menemani kopi itu. bahkan terkadang sisa puntung rokok pun menjadi sahabatnya usai bergulat dengan mimpi yang tak pernah ada sebagai sahabat lelapnya.

" Malam sudah tiba kembali," berdesis dari mulutnya yang beraroma kopi dan sisa-sisa asap rokok. 

Matanya memandang keseluruh pojok rumah kontrakannya yang tak berbenda mewah. Hanya kusamnya warna cat yang menjadi ornamen rumah yang kadang bayarannya sering telat sehingga dirinya harus menerima omelan dari pemilik kontrakan yang bermulut bawel.

Malam ini ternyata lelaki itu ada janji dengan seorang wanita setengah tua yang biasa dipanggilnya Tante. Ya, Tante itu menjadi dekapannya untuk hidup dan bertahan hidup. Hanya Tante itu yang bisa membahagiakan nurani dan jiwanya yang kering kerontang dimakan ganasnya rimba kehidupan yang tak bertuan. 

Hanya Tante itu yang bisa menyambungkan nyawa hidupnya walaupun dirinya pun harus menyambungkan kehormatan dirinya dengan sangat murah kepada wanita setengah tua itu. 

Tante itu bukan hanya memberikan roh dalam hidupnya, namun wanita setengah tua itu telah mengajarkannya dalam kehidupan dosa yang tak bisa ditinggalkannya.

Hidup sebatang kara di Kota yang tak bertuan dan tak berkasih sayang, membuat kasih sayang yang diberikan Tante saat suaminya tak memberi air dalam rongga syahwatinya, membuatnya terjerumus dalam hidup berselimutkan dos sesuai dengan keinginan Tante sang pemilik kekuasaan atas dirinya. Tak ada apologi yang bisa dinarasikannya untuk menolak. 

Kerasnya kehidupan di Kota yang tak mengenal rasa kemanusiaan membuatnya terperosok dalamlimba kenestapaan yang dalam tanpa mampu mengeskalasi diri ke atasnya.

Perkenalaannya dengan warung minuman klas murah di pemukiman kumuh yang menjadi target operasi pencitraan pemimpin membuatnya semakin jauh dari hidup yang sesungguhnya. Sebuah kehidupan yang sarat dengan ornamen keindahan yang mestinya harus dinikmati dirinya sebagai lelaki muda di sebuah Kota.

Lelaki itu sudah menunggu sekitar setengah jam di sekitar pemukiman yang sepi. Sebuah jalan yang sangat sunyi seharmoni dengan kesunyian hatinya dalam kehidupan belantara Kota yang tak berperikemanusiaan. 

Sudah berbulan-bulan areal sunyi itu menjadi tempatnya bertemu dengan wanita setengah tua itu. Hanya cahaya syahdu rembulan yang menjadi saksi peretmuan itu. Hanya anjing liar yang berkeliaran mencari mangsanya dilokasi itu yang sering memergokinya. Sebuah tempat yang sunyi.

Dan sebuah sepeda motor tua pun menghampirinya. Sebuah klakson memberi tanda kepadanya. Usai bertukar posisi, dengan dirinya sebagai pembonceng, motor tua itu pun melaju menembus malam yang gulita hingga akhirnya keduanya pun bersatu dalam sebuah gubuk kecil yang jauh dari penglihatan manusia. 

Keduanya asyik memadu kasih bak dua manusia yang sedang kasmaran. Kadang terdengar suara rintihan yang membuat gubug tua itu pun sekan-akan bergerak seiring gerakan keduanya dalam menikmati indahnya malam.

Keduanya terus memacu nafsu syahwati sebagai manusia hingga keduanya terlelap dalam satu pelukan dan menebarkan rasa kebahagian yang tak terperikan. Malam pun berlalu dari keduanya. Hanya cahaya kegelapan yang menjadi ornamen gubuk tua itu.

" Terimakasih, anak mudaku. Engkau telah memberikan aku segelas air dalam jiwaku yang kering kerontang," ujar Tante sambil mengelus rambut lelaki itu yang masih terkapar.
" Ini uang buatmu," sambung Tante sambil memberikan beberapa lembaran uang dua puluhan ribu.

Lelaki itu kembali ke kedai minuman klas bawah yang berada di sebuah kawasan kumuh yang menjadi sahabat malamnya usai diturunkan Tante di jalanan. Raganya yang rapuh kembali menegak beberapa gelas minuman merk kaum urban itu hingga matanya memerah. 

Suara lagu dangdut dari sebuah VCD membawakannya untuk bergoyang menuruti itrama lagu yang didendangkan penyanyi dengan suara serak basah.
" Lanjut Bung. Lanjut terus hingga pagi," terdengar teriakan dari beberapa pengunjung saat melihatnya mulai menarikan tarian seirama dengan lagu. 

Dan lelaki itu pun terus menari dan menari hingga terjerembab di tanah.

Suara sakral Innalillahi Wa innalillahi dari mulut para warga menandai akhir kehidupannya di dunia. Tak ada tangisan. Tak ada kedukaan. Tak ada kenestapaan. Tak ada sama sekali.

Dan diatas pusaranya tak tertulis namanya aslinya. Hanya tertulis anak muda dengan tanggal kematian tanpa tanggal lahir. Sementara dikejauhan seorang wanita setengah tua menangisi kepergiannya tanpa mampu mendekat. 

Suasana pemakaman makin menyepi seiring perginya beberapa penghantar yang mulai menghilang dari areal pemakaman itu. Sunyi mulai menampak diareal pemakaman umum itu. Ya, hanya kesunyian yang kini menjadi sahabatnya. 

Toboali, minggu, 29 Agustus 2021

Salam sehat dari Toboali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun