Cerpen : Mulut Berlidah Petaka
Sinar matahari berjalan  diatas kepala. Di ruangan kerjanya yang berpendingin, Pak Kades terus berbicara. Suaranya keras menggelegar. Mengagetkan burung liar yang sedang berlindung di ranting pohon besar dari sengatan sinar matahari.
" Rongrong. Kata kamu Atoli tak lagi membuat narasi di koran. Kamu janji akan membantu saya biar tak ada lagi pernyataan dari dia di koran atau radio. Tapi buktinya," kata Pak Kades.
" Hari ini pernyataannya dimuat  di koran nasional. Di koran nasional. Koran yang jadi trend setter. Dibaca berbagai kalangan di negeri ini. Koran yang jadi referensi para pengambil kebijakan di tingkat pusat. Saya tambah pusing. pusing," lanjut Pak Kades lewat handphone terbarunya.
" Pak Kades jangan ngarang-ngarang dan bikin sensasi murahan. Mana mungkin  Atoli bisa membuat pernyataan di koran nasional Pak. Levelnya Atoli kan level kampung. Saya tak percaya. Tak percaya.Lantas koran mana sih yang mau ngutip pernyataan aktivis klas kampung? Pak Kades jangan buat sensasi murahan ya," jawab suara dari seberang.
" Buktinya demikian. Coba kamu baca koran nasional Media Nusantara halaman 13. Apa itu bukan koran nasional yang terkemuka? Apa itu bukan foto Atoli? Apa itu bukan statemen Atoli?," tanya Pak Kades.
Rongrong terdiam.
Pak Kades Desa Liluk teman bicaranya terus ngoceh di telepon tentang kegelisahannya. Tentang kegelisahan dirinya sebagai pejabat yang dikawal oleh aktivis desa lewat pemberitaan. Tentang kegelisahannya sebagai pejabat Desa yang selalu dikritik oleh rakyat lewat media massa. Tentang kegelisahan atas pemberitaan di koran nasional media Nusantara hari ini. Dan tentang berbagai kegelisahannya dalam memimpin Desa yang mulai dapat sorotan dari masyarakat Desa.
" Rongrong. Apa kamu masih mendengar suara saya," tanya Pak Kades lewat telepon dengan nada gusar.
" Masih Pak.