" Langkahi mayat saya dulu sebelum kalian semua menghancurkan rumah itu,"teriaknya dengan sisa-sisa suara tuanya.
" Kalian semua memang tidak mengerti dengan sejarah. Kalian semua tidak paham sejarah. Kalian hanya mengerti dengan menindas dan penindasan," teriaknya lagi.
" Pahamkah kalian semua, bahwa di rumah itu naskah proklamasi dibuat? Tahukah kalian kalau dirumah itu menjadi awal dari proklamasi," tanyanya dengan nada suara tuanya.
Tiba-tiba lelaki tua itu tersungkur. Badannya rebah di tanah. Suasana menjadi riuh. Para petugas sibuk dan segera mengevakuasinya kedalam mobil ambulan yang memang telah stand by sejak dari subuh diareal penggusuran.
Sudah tiga hari lelaki tua itu terbaring dalam kamar sebuah rumah sakit. Dan sudah tiga hari pula para petinggi negeri sibuk mendatangi rumah sakit ternama itu. Mareka mengunjungi seorang lelaki tua yang masih terbaring lemah dikamar. Pengamanan di rumah sakit itu sangat ketat. Bahkan super ketat. Para tamu tak diizinkan menjenguk. Demikian pula dengan para wartawan tak boleh berkunjung dan mereportase fakta peristiwa dan fakta pendapat di sana.
" Kita harus menggunakan hati nurani kita sebagai pemimpin. Jangan gunakan kekerasan dan kekerasan. Kita ada karena rakyat," sebut Presiden dalam pertemuan dengan para petinggi negeri.
" Dan saya minta urusan penggusuran itu dihentikan hingga waktu yang tak terbatas. Dan selesaikan soal Pak Liluk dengan cara-cara manusiawi," perintah Presiden.
Dan sebelum Presiden membubarkan rapat, sebuah pesan dibisikan  ajudannya. Presiden tampak mengangguk-angguk. Ada segurat kesedihan terlihat di wajahnya
" Pak Liluk telah wafat. Dan siapkan acara pemakamannya secara meliter dan saya yang akan memimpin," ujar Presiden.
" lantas penggusuran tetap ditunda Pak?," tanya seorang petinggi daerah yang hadir dalam rapat itu.
" Lakukan setelah seminggu wafatnya Pak Liluk," ujar Presiden.