Opini : Baliho, Citra Diri dan Bansos
Adalah suatu yang istimewa ketika menjelang Pilpres, Pileg dan Pilkada, jumlah iklan di media melonjak, dan baliho outdoor berhamburan memanjakan mata kita sebagai rakyat. Para calon yang akan ikut bertarung dalam pesta demokrasi, biasanya selalu menjadikan iklan di media dan baliho serta banner sebagai instrumen untuk mengenalkan dirinya kepada publik.
Dan itu adalah sebuah langkah yang sah dan tidak ada salahnya. Tentunya tujuannya agar publik mengenal sosoknya sehingga populeritasnya pun tereskalasi. Walaupun populeritas tidak berbanding lurus dengan elektabilitas. Paslon memerlukan pencitraan agar publik atau pemilih terpikat dengan dandanan mareka yang mareka sampaikan lewat iklan di media sehingga mendapat legitimasi atau dukungan pada hari H-nya di TPS.
Dari pengertian iklan menurut Sigit Santosa dalam buku "Creative Advertising" dan jika padukan dengan politik, maka iklan politik adalah taktik penyampaian pesan, baik pesan verbal (visi dan misi) maupun pesan verbal (foto diri) melalui media yang didesain sedemikian rupa secara komunikatif guna menarik hati masyarakat atau audience. Iklan politik biasanya disampaikan oleh kelompok orang yang tergabung dan ada sangkut pautnya dengan partai politik tertentu.
Periklanan politik adalah periklanan citra atau jati diri, daya tarik atau diarahkan untuk membangun reputasi seseorang pejabat publik atau pencari jabatan, menginformasikan pada banyak orang mengenai kualifikasi seorang politisi, latar belakang, pengalamannya, kepribadiannya, sehingga merupakan dorongan bagi prospek pemilihan calon/kandidat yang bersangkutan dalam proses politik.
Pada sisi lain ditengah kondisi ekonomi yang belum membaik dan pendemi Covid -19 belum teratasi dengan baik dan sempurna, respon kita sebagai publik tentunya adalah berupa pertanyaan tentang berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk iklan dan dananya dari mana? Â Apakah layak ditengah pendemi Covid-19 yang masih belum tertata dengan baik dan pesta demokrasi masih jauh bahkan lama (3 tahun lagi), biaya iklan dan baliho itu dilaihkan dalam bentuk bansos untuk warga yang mengalami kesulitan ekonomi? Walaupun kita pahami bahwa pesta demokrasi langsung itu sangat mahal biayanya.
Iklan-iklan politik yang ditayangkan para elite dan petinggi Parpol membuat publik atau rakyat pemilih menatapnya bak lautan janji yang sangat semarak. Walaupun publik paham bahwa iklan-iklan politik yang tersaji amat hiperbolik. Bahkan terkadang kalau bukan janji para pengiklan politik seolah mengimplementasikan dirinya sebagai " dewa penyelamat " yang bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat.
Iklan-iklan politik yang disampaikan para elite politik dan petinggi Patpol lewat media bahkan nelalui baliho yang berjejeran sepanjang jalan bukanlah jaminan mutu (istilah sebuah iklan obat anti nyamuk dulu) bagi elite dan petinggi Parpol dalam meraup simpati masyarakat dan publik. Publik dengan kecerdasannya tidak akan mudah tertipu dengan serangkaian iklan atau pencitraan lewat media. Tingginya tingkat pendidikan publik semakin mempengaruhi tingkat pilihannya pada sosok pemimpin.
Publik dengan tingkat kecerdasannya kini seolah tidak akan mudah terprovokasi pada gincu-gincu iklan politik yang ditawarkan para Paslon di media. Apalagi kita paham tidak semua media mampu menjangkau kondisi demografis publik. Â Publik telah menjadikan rekam jejak Paslon sebagai bagian dari pilihannya. Dan itu terlihat dari berbagai pesta demokrasi yang telah berlalu dimana rekam jejak Paslon akan sangat mempengaruhi pilihan rakyat.
Pada sisi lain bukan berarti elite dan petinggi Parpol yang hobbi mengiklan diri di media bukan pemimpin pilihan sejati rakyat pemilih atau publik. Â Iklan adalah cara. Sementara otentisitas kepemimpinan adalah sebuah proses. Pemimpin yang otentik terlihat dari track recordnya yang panjang. Publik yang sadar akan melihat pemimpin otentik dari keseluruhannya dan menghitung plus minusnya.
Secara ekstrem pemimpin otentik tidak dibuat-buat. Apalagi lewat iklan media. Seorang pemimpin mampu merespon banyak masalah secara tepat dan akurat melalui aneka langkah yang indah dan jitu. Dengan demikian kepemimpinan otentik bersifat komprehensif dan holistik. Pemimpin otentik adalah manusia pembelajar.