" Alhamdulillah, Pak. Saya sangat kepingin sekali tiap waktu bisa sholat berjemaah di Mushola ini. Namun terkadang terbentur dengan pekerjaan saya," jawabku.
Tiba-tiba angin sepoi  menerpa kami. Suara gesekan dedaunan dalam riuh angin menimbulkan bunyi irama mendayu.
"Maaf, kalau perkataan saya membuat anak tersinggung," ujar Pak Woi berupaya menetralkan suasana.
" Oh, tidak Pak. Saya sama sekali tak tersinggung dengan ucapan bapak. Saya sungguh bahagia karena telah diingatkan," jawabku.
" jangan seperti aku ini," ujarnya lirih. Ada nada yang sangat berat dalam tuturannya. Suaranya bergetar. Aku terdiam.Â
Pagi itu, usai sholat subuh, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku sengaja ingin ngobrol dengan Pak Woi. Apalagi hari ini, aku libur kerja. Jadi tidak perlu tergesa-gesa untuk pulang ke rumah.
Sinar matahari kelihatan. Masih remang-remang. Sisa sisa gelap sudah terusir oleh semburat kemerahan di sudut langit. Kokok ayam masih terdengar satusatu. Pagi yang amat damai.
Namun hingga semua jemaah keluar dari Musholla, aku tak melihat Pak Woi. Seribu pertanyaan menggema dalam jiwa ku. Sejuta pertanyaan menggumpal dalam dada ku. kemana Pak Woi. Sementara para jemaah tak satu pun yang bisa menjawab pasti kemana Pak Woi.
" Semalam usai sholat Isya, beliau masih terlihat di mushola," ujar seorang jemaah.
Sekonyong-konyong, seorang pengurus Mushola berjalan tergesa-gesa ke arah mushola. Wajahnya terlihat dibalut kesedihan. Dan yang membuat aku ikut bersedih, pengurus musholla itu menyampaikan berita duka.
" Pak Woi telah wafat," kabarnya. Aku terdiam. Tak ada suara yang keluar dari mulut ku. Sementara pengurus mushola lewat pengeras suara mengabarkan berita duka.