Cerpen : Tuan Tanpa Kumis
Disebuah ruangan artistik  yang terbuat dari suara rakyat, Tuan terpilih duduk di kursi yang terbuat dari tulang rakyatnya. Di hadapannya tumpukan surat nurani rakyat berhamburan. Ada yang bercerita tentang kepedihan hidup. Ada yang bercerita tentang kesusahan. bahkan ada yang bercerita tentang kelaparan.Â
Tuan terpilih itu memandang  keluar lewat jendela besar yang mengornamen ruang kerjanya yang artistik. Sesekali helaan nafas muncrat dari hidungnya. Sebuah helaan nafas yang menggambarkan sebuah kegetiran. Ada sebuah kekecewaan yang tependam dalam raganya.
" Aku kan sudah bilang dan bilang. Buat apa engkau menjadi pemimpin. Akan menyusahkan engkau, kawan," ujar seorang temannya waktu Tuan mengutarakan keinginannya untuk mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin.
" jujur. Engkau tak ada potongan untuk menjadi pemimpin. Engkau tak memiliki kumis sebagai simbol kewibawaan seorang pemimpin," celetuk temannya yang lain.
" Lagi pula badanmu kurus," sebut temannya yang lain.
" Kini saatnya negkau menunjukan kewibawaanmu sebagai pemimpin rakyat walaupun engkau tak memiliki kumis dan badanmu kurus. Keberpihakkanmu kepada warga yang yang memilihmu menunjukan kewibawaanmu sebagai pemimpin mereka," saran temannya yang lain.
Dan kini Tuan baru merasakan apa yang diomongkan para teman dan sahabatnya. Dia baru menikmati kepedihan hidup. Dibully netizen. Diolok-olok warga. Dikritik para pengritik.Â
" Padahal aku bekerja untuk mereka. Dua puluh empat jam aku berpikir keras untuk mereka dan kehidupan mereka," ujarnya.
" Tapi warga belum puas dan sangat belum puas atas kepemimpinanmu," jelas temannya.