Keteladanan.
Sebelas (11) huruf itu tampaknya menjadi barang yang sangat istimewa di negeri ini. Entah kenapa. Dan entah apa sebabnya. Padahal keteladanan menjadi sangat penting, terutama bagi mereka yang memegang kekuasaan sehingga perilaku mereka sebagai pejabat publik akan menjadi contoh bagi masyarakat dan publik. Keteladanan mereka akan menjadi panutan bagi publik untuk diikuti. Keteladanan mereka semestinya menjadi sumber inspirasi bagi publik.Â
Mengawali kehidupan baru usai bebas dari penjara, Soekarno dengan tegas dan lugas menyatakan bahwa seorang pemimpin tidak akan berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangankan kemerdekaan dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama. Sementara Bung Hatta dengan setegar baja mengatakan ditengah himpitan depresi ekonomi dan represii rezim rust en orde pada dekade 1930-an banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan. Tapi seorang pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis. Ketetapan hati dan keteguhan iman  adalah syarat terpenting seorang untuk menjadi pemimpin. Kalau seorang pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, maka ia tidak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.
Dua tokoh bangsa ini bukan hanya mengandal komitmen moril individu semata. Keduanya juga mampu berempati  terhadap suasana kebatinan rakyat seraya memiliki kemampuan komunikasi yang efektif untuk menggerakan rakyat. kemampuan  Soekarno dalam hal ini diakuikan oleh Bung Hatta. " Saudara Soekarno menjadi sangat populer dan mendapat pengaruh besar di kalangan rakyat  karena kecakapannya sebagai orator dan agitator yang hampir tidaka ada bandingannya di Indoensia.
Sementara itu Bung Hatta sendiri menegaskan menduga perasaan rakyat dan memberi jalan keluar kepada perasaan itu keluar, itulah kewajiban yng susah dan sulit. Dan itu kewajiban seorang pemimpin. Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, tapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat untuk mengeluarkannya. Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki rakyat. Itulah sebabnya pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang.
Belajar dari Mahaguru bangsa itu, setidaknya menurut cendikiawan Yudi Latif ada empat sumber utama yang bisa dijadikan parameter bagi seorang pemimpin.
Pertama basis moralitas yang menyangkut nilai-nilai, tujuan dan oreintasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua tindakan politik menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ikuran perilaku, kebijakan dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan menyangkut contoh perilaku moral yang kongret dan efektif yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik. dan keempat, kemampuan seorang pemimpin mengkomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.
Pada sisi lain terlalu sedikitnya panutan dan terlalu banyaknya penghianat membuat jagad negeri ini kehilangan pahlawan dan nilai-nilai kephalawanan. Mareka yang mendambakan panutan kepahlawanan terpaksa harus menoleh kepada batu nisan dan mencari di dunia rekaan. Kegagapan para pemimpin negeri ini, mulai dari Presiden hingga ke Lurah dalam menjadi contoh dan keteladanan membuat rakyat negeri ini kehilangan arti nilai-nilai kepahlawanan. Padahal secara semantik  arti lain dari pahlawan adalah pelopor, yang lebih dari sekedar produk zaman. Pahlawan adalah inspirator zaman karena inovasi gagasan atau tindakannya. Pahlawan adalah orang yang berjuang agar masyarakat menjadi cerdas, sejahterah, beradab, dan berharga diri sebagai rakyat.
Untuk menyukseskan pembangunan harus tercipta pokok pikiran dan kesamaan cita-cita antara rakyat dan pemimpin. Pembangunan akan berhasil jika rakyat merasa didampingi oleh pemimpin yang berwatak melindungi dan mengayomi rakyat. Dengan kata lain, jika apa yang telah dikerjakan rakyat dengan segala pengorbanannya berupa jiwa raga, harta dan seterusnya hanya menguntungkan pemimpin, maka tekad baja berupa kebersamaan itu akan lenyap.
Dan kalau kita masih memiliki pemimpin yang lebih banyak mengambil dari pada memberi, maka yang akan timbul adalah  sikap masa bodoh, apatis sampai ke tingkat kerusuhan. karena rakyat telah kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Dan sejarah telah menunjukan kepada kita bahwa apabila rakyat telah jekhilangan kepercayaan kepada pemimpinnya, maka upaya untuk mengembalikan kepercayaan itu amat sulit.
Tanpa kesamaan cita-cita dan nilai-nilai dasar antara pemimpin dan rakyat, maka tidak akan ada hubungan dialogis. Pada saat tertentu , seorang pemimpin menjadi petunjuk jalan dan pelindung rakyat. Namun pada saat tertentu pula, seorang pemimpin harus minta petunjuk dari rakyat. Dan ini oleh  james Mc gregors disebut sebagai  transforming leadership.
Pada era ini, era kebangkitan bangsa, diperlukan dan dibutuhkan adalah heroisme pro kehidupan. Diperlukan mereka-mereka yang mau bekerja keras dan berjuang untuk rakyat tanpa pamrih. Patriotisme seperti yang diperlihatkan Soekarno Hatta, H. Agus Salim, Depati Bahrin, Depati Amir dan Batin Tikal kini amat langka di negeri ini.Â