Dulu Suhar dikenal sebagai anggota Dewan yang rakus dan tak peduli dengan sesama. Dalam pikirannya hanya uang, uang dan uang. Semua urusan dengannya selalu berkorelasi dengan fulus. Tak ada fulus tak ada aktivitas.
" Memangnya kami duduk di kursi Dewan ini gratis. Tidak sama sekali, Pak. Saya harus mengorban rumah dan harta saya yang lain untuk memenangkan pemilihan dan duduk di kursi ini," ungkap Suhar saat seorang warga meminta dirinya memperjuangkan anaknya sebagai honorer di Kantor Pmerintahan.
" Saya dulu mencoblos bapak karena saya yakin bapak akan mampu memperjuangkan aspirasi kami sebagai rakyat," ujar Bapak itu.
" Bapak mencoblos saya karena saya memberi Bapak uang. Bukan karena hati nurani Bapak," kata Suhar dengan nada berapi-api bak orator yang sedang kampanye di panggung Pilkada.
" Dan saya tidak berutang budi kepada bapak karena suara Bapak sudah saya beli," lanjut Suhar dengan narasi pongah.
Bapak tua itu terdiam. Hanya terdiam. Dalam hatinya yang terdalam dia membenarkan ungkapan Suhar bahwa dirinya memilih Suhar karena tergoda uang yang nilainya tak memartabatkan dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini. Ada rasa penyesalan yang dalam menyelimuti raga Bapak itu saat meninggalkan kantor Suhar. Sebuah penyesalan yang harus dibayar dengan harga yang amat mahal dengan mengorbankan harga dirinya sebagai rakyat yang berkuasa saat di TPS.
Hidup memang berputar. Tak ada yang abadi selama sinar matahari masih bersinar di pagi hari dan rembulan masih mulai bercahaya saat matahari mulai tenggelam menuju keperaduannya meninggalkan bumi. Sebuah realitas hidup yang mesti dilakoni umat manusia sebagai penghuni bumi ini.
Suhar pun akhirnya ditangkap KPK saat sedang menerima uang suap dari seorang pengusaha di sebuah hotel ternama di Ibukota negara. Dan yang amat mengagetkan semua orang, uang suap itu berkaitan dengan pembelian barang untuk kaum fakir miskin di Desanya yang fiktif dan bantuan dana untuk pembangunan masjid.
Yang amat memukul batin Suhar adalah ketika semua harta bendanya pun disita aparat hukum. Istri dan anak-anaknya pun kabur meninggalkan dirinya yang sedang merana. Sejak saat itu dia hidup sebatang kara tanpa martabat diri. Berkat pertolongan seorang teman, akhirnya dia menjadi seorang kuli pemikul barang di Pasar.
Suara azan Zohor pun berkumandang mereligiuskan alam dan penghuninya. Suara azan itu amat merdu mengingatkan semua penghuni bumi. Tak terkecuali Suhar. Lelaki itu pun melangkah menuju mesjid di sekitar Pasar. Langkahnya amat bergegas. Dan hanya kepada Sang Maha Pencipta dia memohon ampun atas segala dosanya. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan, sabtu 23/7/2016.