" kan tak melanggar aturan agama toh," sahut Pak Ketua masjid.
Semua jamaah terdiam. Tak ada yang menjawab. Hanya keheningan yang ada.
Untuk menjernihkan persoalan yang menjadi isu di Kampung kami, Ketua masjid akhirnya mengumpulkan para jemaah masjid beserta pengurusnya. tak terkecuali Atok Muihibat. Usai tarawih, mareka berkumpul di surau.
" Atok Muhibat coba jelaskan bagaimana dengan adanya sesuatu pada bunyi pukulan bedugmu. Biar masyarakat paham dan tak menjadi rumor yang tak karuan," pinta Ketua Masjid dihadapan para jemaah dengan suara berwibawa sebagai pemimpin Surau.
" Iya, Atok Muhibat. Soalnya dalam pukulan bedug Atok dalam seminggu ini ada bunyi ikutan dalam pukulan bedug itu," celetuk Mang Liluk.
" Benar. Saya memasukan suara sejenis simbal kecil sebelum mengakhiri pukulan bedug. Itu sebagai tanda jedah saja. Dan itu kan tidak melanggar aturan kan. Bukankah dalam agama kita tidak melarang suara keindahan," jelas Atok Muhibat dengan narasi suara yang tenang.
" Oh....," koor para jemaah bergumam. Mareka memahami penjelasan Atok Muhibat. Dan sebagian jemaah memuji kreativitas Atok Muhibat.
Kini warga Kampung kami sudah terbiasa dengan adanya suara ting yang terdengar sebelum Atok Muhibat memukul bedugnya sebagai tanda waktu azan telah tiba.
Malam makin merentah. cahaya rembulan dengan terangnya sungguh mempesona. Para jemaah keluar surau dengan hati yang gembira. Bahkan mareka kini amat merindukan suara pukulan bedug yang baru yang terasa lebih indah dan tidak monoton. Ada harmonisasinya. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan, 16 ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H