"Saya ini bukan penambang. Saya tak punya basis ilmu pertambangan," kilahnya.
Langkah lelaki itu terus susuri hutan dan pepohonannya. Belahan sungai yang membela jalanan kecil membuatnya seakan mendapat tenaga baru dalam melangkah. Kerikil-kerikil kecil yang bertebaran di jalan seolah menjadikan langkahnya kian meraksasa untuk melestarikan hutan sebagaimana makin membesarnya benih-benih yang mulai ditebarkannya di areal hutan.
Mentari mulai menenggelamkan diri seiring terbangunnya rembulan dari mimpi panjangnya. Rutinitasnya sebagai pemberi cahaya bagi para penghuni dunia mulai menggeliat. Sinarnya hadir diantara pepohonan rindang di hutan. Dan lelaki itu sungguh bahagia saat melihat malam ditengah raksasanya pepohonan yang rindang ditingkahi derit dedaunan pohon yang melambai diterjang kesepoian angin malam yang sejuk.
Dan lelaki itu amat menyakini bahwa sepuluh tahun ke depan, hutan dan pepohonan ketapek dan melanger yang meraksasa akan melejitkan nama daerah ini dan mengejutkan dunia.
"Mareka akan menoleh ke sini," desisnya sembari menatap pepohonan raksasa.
Malam makin menua. Sinar rembulan pun makin meninggi. Tinggalkan penghuni bumi yang mulai bermimpi. Bermimpi tentang kekuasaan. Bermimpi tentang harta dan tahta. Dan mareka belum bermimpi tentang keasrian alam yang menjadi mimpi lelaki yang bahagia dibawah rindangnya pohon ketapek yang menghuni hutan itu. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H